Thursday, 6 November 2014

Back Again :)

Ternyata udah 1 tahun gak buka-buka blog ini hihi
berhubung sekarang udah semester 5 jadi lumayan sibuk sama tugas-tugas yang selalu numpuk segunung :(
meskipun begitu keinginan untuk nulis tetep masih ada dan akan selalu ada :)
nah hari ini aku udah post 5 buah cerpen :D
makasih buat yang udah baca blog ini dan semoga kalian suka dengan semua cerpen yang aku buat
ditunggu kritik serta sarannya :)


ttd

Namika Kinashita

Wednesday, 5 November 2014

SWITCH



Make up bisa menutupi segala kekurangan ataupun kelebihan dari seseorang. Kejadian dua tahun yang lalu membuatku menutupi kelebihan yang kupunya. Sekarang aku berpura-pura menjadi seorang murid SMA yang biasa.
"Hmmm, akting hari ini dimulai." Ujarku sambil mengenakan kacamata tebal. Aku melihat pantulan diriku di cermin. Rambut yang dikepang dua dan kacamata tampak membuatku terlihat berbeda.
Aku berangkat menuju sekolah dengan menggunakan kedaraan umum. Aku sengaja menolak untuk diantar supir. Awalnya keluargaku melarang namun aku tetap memaksa akhirnya mereka menurutiku. Namun dengan satu syarat, aku harus menerima perjodohan yang mereka telah siapkan untukku.
Sekarang aku sudah tidak peduli dengan siapa aku akan dijodohkan. Pada akhirnya mereka juga akan memaksaku. Jadi semua itu sama saja untukku. Aku duduk di bangku belakang dan dekat dengan jendela. Aku suka memandang keluar saat aku sudah letih dengan kepura-puraan yang ada di hidupku.
"Hei dengar-dengar akan ada murid baru dikelas kita." Ujar Dita teman sekelasku kepada para anak cewek. Handphoneku berbunyi, aku pun bangun dan beranjak pergi.
"Iya pah, aku udah sampe." ujarku mengangkat telephone. Saat aku berjalan tanpa sengaja aku menabrak seseorang dan kacamataku jatuh. Langsung saja pandanganku menuju seseorang yang ada didepanku. Aku mengambil kacamataku dan bergegas pergi. Orang itu hanya diam terpaku.
"Ketemu." Ujar orang itu saat aku sudah pergi jauh.
***
"Pagi anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru. Silahkan memperkenalkan diri." Ujar bu Susi.
"Nama saya Aditya Hady Pratama. Pindahan dari Bandung." Ujarnya. Seisi kelas menatapnya dengan takjub.
"Tuh kan bener kata gue." Ujar Dita kepada teman sebangkunya. Aku menoleh ke depan. Orang itu yang tadi menabrakku. Dia melihat kearahku dan tersenyum. Aku tidak peduli.
"Sekarang Adit kamu bisa duduk dibangku yang kosong." Ujar bu Susi sebelum memulai pelajaran. Aku yakin dia tidak akan duduk disebelahku. Karena dikelasku masih ada 2 bangku kosong yang lain. Lagipula aku selalu menaruh tasku sehingga tak ada yang bisa duduk disini. Dugaanku benar, ia duduk tak jauh beberapa meja dariku.
Pelajaran pun berakhir, bu Susi memintaku mengumpulkan tugas minggu lalu dan membawanya ke ruangannya. Anak-anak mengumpulkan tugasnya di meja guru. Banyak guru yang menaruh perhatian padaku itu karna kepintaranku. Aku sempat dibicarakan teman-teman karna hal itu. Namun sekarang aku tidak peduli bila mereka membicarakanku lagi.
"Gue bantu." Ujar Adit membawa setengah dari tugas anak-anak. Seisi kelas melihat kearah kami.
"Thank's tapi lain kali gak perlu gue bisa sendiri." Ujarku saat kami sudah meninggalkan kelas.
"Ini cuma permintaan maaf karna gue udah nabrak lo. Jadi jangan salah paham." Ujarnya tersenyum.
"Wajah sama perkataan lo gak sesuai ya." Ujarku asal.
"Seengaknya gue gak perlu pura-pura jadi orang lain." Ujar Adit. Aku hanya terdiam. Adit gak mungkin tau siapa aku sebenarnya.
Kami sampai di ruang guru. Bu Susi sedikit terkejut melihatku bersama Adit. Ia menyangka bahwa kami berdua sudah mulai dekat dan memintaku untuk mengajak Adit berkeliling sekolah.
"Gue bisa jalan-jalan sendiri ko, gue duluan ya." Ujar Adit saat kami sudah keluar dari ruang guru. Dan ia pun pergi berlari menuju lapangan basket.
"Lo sama kaya gue kan sebenernya." Ujarku melihat Adit dari jauh.
***
Aku duduk dikelas sambil meminum orange juice yang baru saja aku beli dikantin. Sudah 3 hari semenjak aku berbicara dengannya dan kami tidak pernah berbicara kembali.
"Friska, ajarin gue soal ini dong." Ujar Dita menghampiriku. Tidak jarang beberapa teman sekelasku meminta bantuan, aku tau mereka semua orang baik tetapi aku tidak bisa membuka diri untuk berteman dengan mereka aku tidak mau kecewa lagi.
"Iya." Ujarku singkat. Aku pun menjelaskan isi dari soal tersebut dan mengajarkan bagaimana menyelesaikannya. Dari jauh Adit memperhatikanku dan tersenyum.
***
Aku duduk diatap sekolah. Hembusan angin dan suasana yang sepi mampu menenangkanku. Jarang sekali ada yang ke sini, apalagi ada mitos pernah ada yang bunuh diri disini. Sebenarnya itu hanya gosip supaya tidak ada yang bolos kesini.
Aku membuka kacamataku dan memandang ke langit. Hari ini cuaca sangat cerah. Suara langkah kaki semakin lama semakin mendekat kearahku.
"Lo ngapain ke sini?" Ujarku asal.
"Hanya berkeliling." Ujar Adit berdiri disebelahku.
"Murid baru yang aneh, lo pasti bukan orang biasa." Ujarku. Aku memang sudah merasa ada yang aneh dalam diri Adit.
"Lo lebih cantik tanpa kacamata, lagian mata lo juga gak min." Ujar Adit tanpa melihat kearahku. Aku bangun dan memakai kembali kacamataku.
"Bukan urusan lo." Aku pergi meninggalkan Adit sendiri.
Adit hanya tersenyum melihat ke arah langit. "Cewek yang unik." Ujarnya pelan.
***
Hari ini malam minggu, sesuai rencana papah dan mamah akan memperkenalkanku dengan seseorang yang akan menjadi tunanganku. Aku memandang ke arah cermin. Diriku tampak berbeda. "Selama ini memang aku sudah banyak melakukan kepura-puraan." Ujarku pelan.
Aku berjalan menuruni tangga. Dress yang anggun dengan high hells serta riasan dan rambut terurai membuatku nampak seperti putri.
"Ka Friska cantik." Ujar Fanya adik perempuanku.
"Kamu lebih cantik dari kaka." Ujarku membelai lembut rambutnya.
Kami sekeluarga pergi ke acara pertemuan rekan-rekan kerja papah. Disini semuanya adalah orang-orang terkenal dengan perusahaan-perusahaan yang tersebar diseluruh dunia. Keluargaku adalah salah seorang dari pengusaha yang terkenal. Papah memiliki beberapa perusahaan dan hotel di bali serta lombok.
"Pak Pratama." Ujar papah menyapa salah satu rekan bisnisnya. Aku melihat dari kejauhan papah dan mamah sedang mengobrol dengan mereka. Mereka melihat kearahku dan aku hanya tersenyum.
"Pasti keluarga itu." Ujarku pelan.
"Kakak ngomong apa?" Ujar Fanya tak mengerti.
"Gak ko sayang." Ujarku tersenyum.
"Friska." Mamah memanggilku.
"Ade, kakak kesana dulu ya. Kamu duduk disini jangan kemana-mana." Ujarku mengelus rambutnya.
Aku menghampiri mereka. "Ini putri saya Friska." Ujar papah memperkenalkanku.
"Kelihatannya lebih cantik daripada fotonya." Ujar tante Sonya. Aku hanya tersenyum. Kulihat sosok yang tak asing juga berdiri disana.
"Ini anak saya Adit." Ujar om Pratama memperkenalkan anaknya.
"Malam Friska." Ujar Adit dengan senyum andalannya.
"Kamu temenin Adit ngobrol dulu, biar mamah dan tante Sonya yang temenin Fanya." Ujar mamah dengan sengaja.
"Papah juga harus menyapa rekan bisnis yang lain." Ujar papah mengajak om Pratama pergi.
"Iya." Ujarku ramah dan tersenyum. Mereka pun meninggalkan kami berdua.
"Sekarang lo udah tau kan." Ujar Adit melihat kearah papah dan om Pratama. Aku hanya diam. Aku tidak kaget mengetahui bahwa Adit adalah orang yang akan bertunangan denganku.
"Ikut gue." Ujar Adit mengandeng tanganku. Kami berjalan menjauh dari keramaian. Kami pun duduk di sebuah meja dekat dengan kolam renang dan lumayan jauh dari keramaian.
"Jadi dari awal ini rencana lo?" Ujarku menaruh tangan di dagu. "Anak baru yang tiba-tiba pindah untuk mencari tahu tentang calon tunangannya." Ujarku lagi.
"Itu semua rencana nyokap gue, dia bilang gue harus kenalan sama calon tunangan gue. Dan kalo gue gak suka gue boleh nolak." Ujar Adit santai.
"So? Apa yang bakal lo lakuin sekarang?" Ujarku menatap kearahnya.
"Mungkin gue bakal sedikit main-main dulu sekarang. Gue denger lo gak nolak sama sekali, apa karna gak ada yang mau sama lo?" Ujar Adit menatapku dengan serius. Sesuatu yang aneh mulai menghampiri perasaanku.
"Itu bukan urusan lo, lagian percuma juga gue nolak kalo ujung-ujungnya mereka bakal maksa gue." Akuku jujur.
"Lo bener, tapi gue gak mau orang yang tunangan sama gue karna terpaksa." Ujar Adit.
"So? Lo mau batalin pertunangan ini?" Ujarku asal.
"Untuk saat ini gue belum tau, tapi kayanya gue sedikit tertarik sama lo. Dan gue bakal buat lo suka sama gue." Ujar Adit sambil tersenyum.
"Pangeran yang berhati licik." Ujarku.
"Mulai besok permainan akan kita mulai. So, siap-siap tunangan." Ujar Adit licik. "Btw, lo hari ini cantik." Ujarnya sambil tersenyum.
"Hati-hati dengan permainan yang lo buat sendiri. Well, gue harus ketempat adik gue." Ujarku berdiri. Malam ini sedikit dingin aku ingin buru-buru pulang.
"Gue gak mau kalo lo sampe sakit." Ujar Adit meletakkan jasnya di bahuku. Iya berjalan didepanku. Aku tersenyum. Aku tahu dia punya sisi baik dalam dirinya.
***
Hari ini permainan akan dimulai. Aku masih belum bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh Adit. "Semoga aku tidak terjebak dalam permainannya." Ujarku pada pantulan diriku di cermin.
Aku menuruni tangga. Kulihat sosok yang tak asing duduk di meja makan bersama keluargaku. "Adit" ujarku pelan.
"Ka Friska, ka Adit janji mau ngajak Fanya jalan-jalan besok." Ujar Fanya. Aku hanya tersenyum.
Hari ini aku terpaksa berangkat bersama Adit. Mungkin ini salah satu dari permainan dia. "Lo licik, bawa-bawa Fanya dalam permainan lo." Ujarku saat kami berdua berada di mobilnya.
"Lo gak mau Fanya kecewa kan? So, besok lo harus rubah penampilan lo, kalo besok lo tampil begini, gue gak akan segan-segan buat ngebatalin rencana besok." Ujar Adit tersenyum.
"Ya ya ya gue ngerti." Ujarku acuh.
Kami berjalan bersama menuju kelas, banyak mata memandang ke arah kami. Aku sudah dengar walaupun baru 1 minggu Adit pindah tetapi ia telah menjadi idola sekolah khususnya di kalangan para cewek.
"Lo gak takut kehilangan fans karna jalan bareng gue?" Ujarku asal.
"Gue gak butuh mereka, lagian sekarang lo adalah prioritas utama gue." Ujarnya tersenyum.
"Senyuman lo gak bakal mempan ke gue, jadi percuma. Oh iya satu lagi, lo keliatan jelek dengan senyuman itu." Ujarku tersenyum lalu berjalan mendahuluinya. Adit hanya tersenyum mendengar perkataanku dan dia pun berjalan mengikutiku.
Aku berjalan menuju tempat dudukku. Kukeluarkan headset dan memutar musik melalui handphone. Adit memasuki kelas dan berjalan ke arahku. Aku membuang pandanganku keluar jendela. Ia mengangkat tasku dan duduk disebelahku. Aku menatapnya tajam. Dan dia hanya mengangkat bahunya.
Seisi kelas memperhatikan ke arah kami berdua. Aku menarik nafas dan bergegas pergi ke toilet. "Ini cuma bagian dari permainan dia, gue gak boleh terjebak." Ujarku memandang pantulan diriku di cermin. Kubasuh wajahku. Lalu mengelapnya dengan tissue.
"Adit sekarang duduk sama Friska?" Ujar Tika dan anak-anak yang lain mengelilinginya.
"Iya, gak apa-apa kan?" Ujar Adit ramah. Aku memasuki kelas dan anak-anak yang lain kembali ke tempat mereka masing-masing.
Adit memberikanku secarik kertas yang isinya:
Gak perlu gugup gitu, permainan baru dimulai.
***
Bel istirahat berbunyi. Aku memasukkan bukuku ke dalam tas. "Temenin gue makan." Ujar Adit berjalan keluar kelas. Aku mengikutinya dari berlakang.
"Gak bisa ya ngajak tunangan ke kantin dengan lebih halus?" Ujarku asal. Saat kami sampai di kantin.
"Jadi sekarang lo ngakuin gue sebagai tunangan lo?" Ujar Adit menatapku. Perasaan aneh muncul dalam diriku.
"Ge-er lo." Ujarku membuang muka. Adit hanya tertawa.
"Lo tunggu sini, gue pesen makanan dulu." Ujarnya tersenyum.
"Ketawa lo lebih bagus daripada senyum palsu lo." Ujarku pelan.
***
Keesokan harinya Adit menjemputku kembali. Ia tampak sudah akrab dengan keluargaku. Aku menghampiri mereka. Adit menatapku. Aku masih mengenakan kacamata dan rambut kepang dua.
"Gue kira lo bakal berubah hari ini." Ujar Adit saat kami hanya berdua di mobil.
"Kemarin lo gak bilang kan kalo gue harus berubah pas sekolah? So, gue gak curang." Ujarku dengan senyum kemenangan. Tiba-tiba Adit menciumku. Aku hanya terdiam.
"Itu hukuman karna lo udah curang." Ujar Adit sambil tersenyum lalu ia memacu mobilnya menuju sekolah.
"Lo licik, yang tadi salah satu dari permainan lo kan." Ujarku tanpa menoleh kearahnya. Adit tersenyum penuh kemenangan.
***
Sepulang sekolah sesuai janji Adit akan mengajak Fanya jalan-jalan. Aku dan Adit sudah sampai di depan sekolah Fanya. Aku melepas kacamata dan kepangan rambutku. "Kayanya gue kena kutukan dapet tunangan kaya lo." Ujarku asal.
"Gue gak suka punya tunangan yang tukang ngeluh." Ujar Adit mengacak-acak rambutku. Lalu ia keluar untuk menjemput Fanya. Tak lama Adit kembali bersama Fanya.
Adit membawa aku dan Fanya ke mcd. Kami memesan makanan dan es krim. Fanya sangat senang, ia tampak sangat dekat dengan Adit. Mereka terlihat seperti kakak beradik.
"Adit." Seseorang memanggil Adit dari arah belakangku. Aku menoleh, dan kulihat Rissa salah satu murid sekolah kami bersama teman-temannya akan makan disini juga. Ia tampak mengenaliku.
"Thank's ya udah minjemin ini kemaren, tadinya gue mau balikin pas di sekolah tapi lo nya udah balik." Ujar Rissa memberikan sapu tangan.
"Lain kali jangan nangis lagi." Ujar Adit tersenyum.
"Btw gue ke sana duluan ya." Ujarnya tersenyum lalu pergi. Aku hanya diam. Adit sangat ramah dengan cewek itu. Entah kenapa banyak pertanyaan muncul dibenakku.
"Lo cemburu?" Ujar Adit menatapku.
"Jangan ge-er." Ujarku membuang muka darinya.
Setelah makan kami pun pulang, tidak banyak yang kami bicarakan. Fanya tertidur pulas di bangku belakang. Aku dan Adit sama-sama diam. "Thank's udah baik sama Fanya." Ujarku tersenyum.
"Lo tau kan apa tujuan gue?" Ujar Adit masih dengan pandangan lurus ke depan.
"Untuk saat ini gue gak bisa berhenti pura-pura." Ujarku pelan. Adit hanya terdiam. Ia tau aku punya alasan.
Adit menggendong Fanya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia pun pamit. Aku mengantar Adit sampai depan rumah. "Gue balik ya tunangan." Ujarnya manis. Ia pun berlalu. Aku masuk ke dalam kamar dan berbaring di ranjang. "Kenapa gue mau ikutin permainan Adit?" Ujarku pelan.
***
Hari ini aku akan pergi ke rumah Adit. Adit dan tante Sonya sudah menungguku di bawah. Aku menuruni tangga, kulihat Adit sedang mengobrol dengan Fanya.
"Yuk berangkat." Ujarku. Adit terdiam sejenak lalu tersenyum.
"Kakak pergi dulu ya." Ujar Adit kepada Fanya.
Aku, Adit dan tante Sonya pergi ke sebuah supermarket untuk membeli beberapa bahan. Tante Sonya sangat ramah. Sepanjang jalan banyak yang kami bicarakan. Sesampainya di rumah aku membantu tante Sonya untuk membuat kue, banyak yang dapat aku pelajari.
Tante Sonya mengajariku pelan-pelan. Aku merasakan kehangatan bersamanya. Setelah selesai kami pun duduk berdua sambil minum orange juice dan melihat beberapa album foto.
"Ini foto saat Adit kecil. Dia lucu kan." Ujar tante Sonya.
"Iya tan." Ujarku tersenyum. Tante Sonya menceritakan setiap kejadian yang diabadikan disana. "Tante ini?" Ujarku sedikit kaget melihat ada foto Rissa di album Adit saat ia SMP.
"Itu Rissa. Dia temennya Adit. Waktu SMP mereka deket. Dia juga sering main kerumah." Ujar tante Sonya. Aku hanya terdiam.
"Tante mau angkat kuenya dulu ya." Ujar tante Sonya.
"Iya tante." Ujarku tersenyum.
"Lo ngapain?" Ujar Adit menghampiriku. Aku buru-buru menutup album foto tersebut.
"Eh, gak, liat-liat foto aja." Ujarku.
"Lo gak ngambil foto gue kan?" Ujar Adit menatapku.
"Ye pd lo." Ujarku menyenggolnya.
"Kuenya udah jadi." Ujar tante Sonya membawa kue yang baru matang.
"Pasti enak." Ujar Adit mengambil kue tersebut. Hari ini aku melihat sisi lain dari Adit.
"Saat permainan selesai dan lo udah bosen sama gue, apa lo bakal ninggalin gue?" Ujarku pelan saat Adit mengantarku pulang. Adit hanya terdiam. "Lupain aja." Ujarku lagi lalu keluar dari mobil.
***
"Friska." Ujar seseorang dengan nada sinis dibelakangku. Aku menoleh. Kulihat Putri disana. Putri adalah kakak kelasku disini. Kami hanya berdua diruang olahraga sekarang.
"Gue gak nyangka lo bakal ngelakuin itu buat dapetin Adit." Ujarnya lagi.
"Gue gak ngerti maksud lo." Ujarku hendak pergi. Namun ia menarikku.
"Lo berubah demi narik perhatian Adit kan?" Ujarnya lagi.
"Lo gak tau apa-apa jadi jangan ikut campur." Ujarku pergi meninggalkannya.
***
"Nih." Ujar Adit memberiku sekotak susu coklat yang dingin.
"Thank's." Ujarku singkat.
"Lo gak apa-apa?" Ujar Adit mencemaskanku.
"Gak ko." Ujarku tersenyum. Adit tahu ada yang telah terjadi.
"Tunangan gue harus kuat." Ujarnya mengacak-acak rambutku. "Gue ke toilet bentar ya." Ujarnya lagi.
***
"Dasar anak sombong." Ujar Putri. Adit yang kebetulan lewat berhenti untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
"Lo gak takut kalo sampe guru-guru tau?" Ujar salah seorang dari dalam juga.
"Ehem." Ujar Adit memasuki ruang olahraga.
"Adit." Ujar Putri kaget.
"Friska itu tunangan gue, so kalo terjadi apa-apa sama dia gue gak bakal segan-segan sama kalian." Ujar Adit dengan serius. "Kalian ngerti kan?" Ujarnya lagi sambil tersenyum. Seperti kata-kata raja, mereka semua langsung patuh kepada Adit. Tanpa disadari Rissa mendengar perkataan Adit dari balik jendela. Ada rasa cemburu yang timbul dalam hatinya.
"Kalo gitu gue duluan ya." Ujar Adit tersenyum lalu pergi. Mereka masih terpesona oleh ketampanan Adit yang mampu menghipnotis semua orang.
"Satu masalah udah beres." Ujar Adit.
"Hei, abis ngapain?" Ujar Rissa mengagetkan Adit.
"Seperti biasa, you know lah." Ujar Adit santai.
"Jadi, dia tunangan lo?" Ujar Rissa pelan. Adit berhenti dan menatap ke arah Rissa. "Lupain aja, gue duluan ya." Ujar Rissa dengan ceria lalu pergi meninggalkan Adit.
"Maafin gue Ris." Ujar Adit pelan.
***
"Tadi gue liat Adit ngobrol sama Rissa dikoridor. Gue denger-denger si mereka emang deket. Bahkan ada yang bilang kalo mereka pacaran." Ujar Dita. Aku mendengar percakapan mereka. Aku memang tahu Rissa adalah teman SMP Adit. Tapi mungkin lebih dari itu.
Adit memasuki kelas tanpa kata. Auranya begitu berbeda. Namun ia dapat menutupinya dengan senyum palsunya namun tidak dariku. Aku tahu ada yang sudah terjadi antara mereka berdua.
"Hari ini lo pulang sendiri ya, gue ada urusan." Ujar Adit mengambil tasnya. Aku hanya diam. Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Adit.
***
Setelah pulang sekolah Fanya mengajakku ke mall untuk jalan-jalan karna tidak mau membuatnya sedih aku pun menurutinya. Banyak yang kupikirkan sekarang. Sesampainya disana Fanya mengajakku ke toko boneka. Ia memilih boneka Teddy yang lucu.
"Ka aku mau ini ya." Ujar Fanya manja.
"Iyah." Ujarku tersenyum.
Setelah membeli boneka aku mengajak Fanya ke toko buku, karna ada sesuatu yang harus aku beli. Tak sengaja aku melihat Adit bersama Rissa. Aku langsung membawa Fanya dari tempat itu agar ia tidak melihat Adit. Namun tanpa kusadari Adit mengetahui keberadaannku.
Aku mengajak Fanya pulang, tetapi ia tidak mau. Ia mengajakku untuk makan es krim. Akhirnya aku menurutinya. Fanya menikmati es krimnya. Aku hanya terdiam memikirkan apa yang terjadi.
"Ka Adit." Ujar Fanya. Seseorang dari arah belakangku menghampiri kami.
"Hai." Ujar Adit tersenyum. Aku terdiam entah apa yang sedang aku pikirkan.
"Mana Rissa?" Ujarku memakan es krim yang daritadi belum aku sentuh.
"Lagi belanja di toko sebelah." Ujar Adit santai.
Aku hanya diam. Kenyataan bahwa Adit hanya bermain-main denganku sangat menyakitkan. Ini sama seperti setahun yang lalu. Adit banyak berbicara dengan Fanya sedangkan aku hanya diam.
"Adit." Ujar Rissa memanggil dari kejauhan.
"Kaka duluan ya." Ujar Adit kepada Fanya. "Jangan pulang malem-malem." Adit mengelus rambutku. Ini lebih menyakitkan dari yang pernah aku alami.
***
Aku membaringkan tubuhku di ranjang. Mamah, papah dan Fanya pergi ke acara keluarga. Kepalaku pusing. Aku memilih untuk tidak ikut dan beristirahat dirumah. Tanpa aku ketahui ternyata mamah menyuruh Adit datang ke rumah.
"Ngapain lo ke sini?" Ujarku saat Adit memasuki kamarku. Aku duduk dengan kedua tangan diatas kakiku.
"Cuma mastiin aja, lo beneran sakit atau cuma pura-pura." Ujar Adit santai. Tidak ada kata yang kami ucapkan satu sama lain.
Tak lama kemudian seorang pelayan datang ke kamarku dan membawakan makanan untukku. "Makan dulu non, dari pagi non belum makan." Ujarnya.
"Taro di meja aja dulu bi." Ujarku malas. Adit hanya memperhatikanku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
"Iya mah, aku udah makan ko. Minum obat juga udah." Ujarku berbohong.
"Lo bohong." Ujar Adit pelan saat aku sudah mengakhiri telephonenya. Aku hanya diam. Saat ini aku tidak mau melihat wajahnya. Aku beranjak dari tempat tidur dan mencoba berdiri. Namun karna lemas aku hampir terjatuh. Adit buru-buru menangkapku.
"Gue bisa sendiri ko." Ujarku. Adit mendudukkanku di kasur dan mengambil makanan yang tadi dibawa oleh pelayan. Ia menyuapiku. Seperti boneka aku selalu mengikuti perintah Adit.
Kami kembali diselimuti oleh keheningan. "Dua tahun yang lalu waktu gue masih SMP gue gak sengaja denger temen-temen gue ngomongin gue dibelakang." Ujarku membuka pembicaraan. Adit hanya diam.
"Mereka semua baik kalo didepan gue, sedangkan saat dibelakang mereka sebaliknya. Mereka bilang gue manfaatin semua yang gue punya untuk menarik perhatian orang. Mereka nyangka gue ngerebut pacar temen gue sendiri. Sejak saat itu mereka mulai ngejauhin gue." Ujarku sedih.
"Lo lemah." Ujar Adit.
"Gue tau gue lari dari masalah dan ngebohongin semuanya bahkan diri gue sendiri."
"Lo gak bisa bersembunyi terus." Ujar Adit membuka jendela kamarku. Sinar matahari masuk dan menghangatkanku. "Sekarang saatnya lo keluar dan hadapi semuanya." Ujar Adit tersenyum.
***
Keesokkan harinya aku berpakaian biasa, tanpa kacamata ataupun kepangan rambut. Adit melihatku dan tersenyum. Semuanya berjalan begitu saja, Adit membuatnya menjadi mudah.
"Lo udah kenal lama sama Adit?" Ujarku ketika bersama dengan Rissa. Adit sedang latihan basket. Aku dan Rissa melihat dari sisi lapangan.
"Kita sahabatan waktu SMP, dan Adit pernah nyatain cintanya ke gue." Aku Rissa jujur. Aku hanya terdiam. Rissa adalah ceweknya yang cantik. Dia juga adalah sekertaris di OSIS. Makanya ia sangat populer. Wajar bila Adit menyukainya.
"Tapi itu dulu ko." Ujar Rissa tersenyum. Dari senyumannya aku tahu Rissa menyukai Adit.
***
"Maaf." Ujarku menabrak seseorang disebuah pusat perbelanjaan.
"Gak apa-apa." Ujar cowok itu ramah lalu pergi. Sepertinya wajahnya tak asing bagiku. Aku menghampiri mamah dan Fanya.
***
Aku berjalan melewati koridor kelas. Hari ini Adit harus latihan basket dan aku harus menunggunya. Aku duduk di kantin dan memesan orange juice. Aku melihat seseorang sedang menuju kantin.
"Lo yang kemaren kan?" Ujarku.
"Iya." Ujarnya tersenyum lalu ia duduk didepanku.
"Kayanya gue gak pernah liat lo." Akuku jujur.
"Gue baru pindah kemarin, gue Yoga kelas 12." Ujarnya ramah.
"Gue Friska kelas 11." Ujarku.
"Friska." Ujar seseorang memanggilku. Aku menoleh dan kulihat Adit menghampiriku.
"Gue duluan ya." Ujar Yoga pergi sebelum Adit sampai. Mereka sempat berpapasan dan Adit terlihat kesal.
"Ngapain si dia kesini." Ujar Adit pelan.
Adit mengajakku pulang. Diperjalanan tidak banyak yang ia bicarakan. Tak lama kami pun sampai di depan rumah. Saat aku hendak turun Adit menarik tanganku dan menciumku.
"Ini hukuman karna lo ngobrol sama cowok lain." Ujarnya tersenyum seperti biasa. Aku mencium Adit kembali.
"Itu hukuman karna lo deket-deket sama cewek lain." Ujarku tersenyum mengikuti gayanya lalu keluar dari mobil.
"Yang nentuin hukuman itu gue bukan lo." Ujar Adit tersenyum.
***
Hari ini aku dan mamah mengunjungi rumah Adit. Katanya mamah ingin ngobrol dengan tante Sonya. Fanya sedang ada les bahasa Inggris sehingga ia tidak dapat ikut.
"Hai jeng, akhirnya main juga kesini." Ujar tante Sonya kepada mamah.
"Iya jeng, maaf loh baru bisa sekarang." Ujar mamah.
"Friska, Adit ada didalam. Bik Nah nanti yang akan mengantar kamu." Ujar tante Sonya.
Aku mengikuti Bik Nah, samar-samar aku mendengar suara Adit berbicara dengan seseorang didalam kamar. "Jadi lo bakal milih yang mana?" Ujar seseorang yang suaranya tak asing untukku.
"Itu bukan urusan lo." Ujar Adit.
"Hmm egois, gue tau perasaan lo ke Rissa gimana. Kalo mang lo cuma mau main-main sama Friska mending lo akhirin sekarang." Ujar orang itu.
Tokk.. Tokk.. Bik Nah mengetuk kamar Adit. Aku hanya terdiam. Apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan? "Siapa?" Ujar Adit.
"Saya den." Ujar bik Nah membuka pintu. Aku melihat Adit bersama Yoga. Ada hubungan apa sebenarnya antara mereka berdua. Adit yang melihat kedatanganku pun langsung menghampiriku.
"Lo ko ke sini gak bilang-bilang?" Ujar Adit salah tingkah.
"Mamah yang ngajak." Ujarku singkat. Adit sepertinya tahu aku mendengar pembicaraannya dengan Yoga.
"Hai Fris. Gue ke kamar duluan ya." Ujar Yoga tersenyum ia mengerti akan situasi yang sedang terjadi.
Aku dan Adit sama-sama terdiam. Kami hanya berdua sekarang. Hampir cukup lama kami berdiam. "Lo tadi denger pembicaraan gue sama Yoga?" Ujar Adit pelan. Aku hanya mengangguk pelan. Adit pun menghela nafasnya.
"Gue tau ko gimana posisi gue sekarang. Dari awal juga gue tau ini cuma permainan." Ujarku memaksakan senyum. Adit menghampiriku dan memelukku.
"Gue sayang lo Fris." Ujar Adit pelan. Aku menarik nafas dan Adit melepaskan pelukkannya.
"Gue ngerti perasaan lo ke Rissa. Gue gak maksain pertunangan ini harus berlanjut. Gue cuma berharap kalo semua ini bisa berakhir dengan baik. Gue ikut seneng kalo lo bahagia sama Rissa. Makasih buat semuanya." Ujarku tersernyum lalu beranjak pergi dari kamar Adit. Air mataku menetes ketika aku sudah dibalik pintunya.
"Lo hebat." Ujar Yoga menghampiriku. Ia memberikan sapu tangan kepadaku. Aku mengelap air mataku. Aku sedikit mengobrol dengan Yoga di balkon. Tanpa kusadari Adit melihat kami. Adit hanya terdiam tak bisa bertindak apa-apa.
Berbicara dengan Yoga dapat sedikit menghiburku. Ia bisa menenangkan perasaanku berbeda dengan Adit. Tapi yang ada dihatiku hanyalah Adit. Aku mencintainya. Yoga tau semua yang terjadi antara aku dan Adit.
"Dulu Adit pernah nembak Rissa." Ujar Yoga.
"Gue tau ko, Rissa udah pernah bilang." Ujarku pelan.
"Tapi lo gak tau kan kalo Adit ditolak." Ujar Yoga. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Rissa nolak Adit karna dia gak mau cinta ngancurin persahabatan mereka. Dan saat itu Rissa harus pindah ke Jakarta. Sejak saat itu Adit menjaga jarak dari cewek-cewek. Meski kelihatannya ia banyak deket sama cewek tapi kenyataannya gak pernah ada yang bener-bener deket sama dia." Jelas Yoga panjang lebar.
"Apa gue salah satu dari mereka?"
"Lo beda Fris, Adit diam-diam selalu merhatiin lo. Bahkan waktu lo diganggu Putri dia langsung nyamperin Putri dan bilang kalo lo tunangannya." Ujar Yoga.
"Lo tau darimana?" Ujarku bingung.
"Rissa. Rissa sering cerita ke gue. Dia bilang dia nyesel pernah nolak Adit sebelumnya. Dia mau nebus kesalahannya. Tapi saat dia tau Adit punya tunangan dia gak bisa berbuat apa-apa. Semua keputusan ada di Adit sekarang." Ujar Yoga.
"Gue tau ko, entah itu gue atau Rissa asal Adit bahagia gue seneng. Dan gue gak nyesel pernah kenal sama dia karna Adit yang udah buka mata gue." Ujarku tersenyum melihat langit. "Btw gue balik dulu ya. Salam buat Adit." Ujarku pamit pada Yoga.
***
Sudah 3 hari aku tidak masuk sekolah, aku menenangkan diriku di villa keluargaku di puncak. Adit melihat kearah kursiku. Ia merasa telah ada yang hilang dalam hidupnya. "Lo kangen sama Friska?" Ujar Rissa menghampiri Adit. Mereka hanya berdua di kelas.
"Yuk pulang." Ujar Adit mengalihkan pembicaraan.
"Lo udah berubah dit." Ujar Rissa ketika mereka sampai didepan rumahnya. Adit hanya diam.
"Lo gak usah bohongin diri lo lagi. Gue tau lo sayang sama Friska lebih dari perasaan lo ke gue. Lo harus kejar dia dit. Friska pasti lagi nunggu lo sekarang." Ujar Rissa membuka pintu mobil.
"Thank's ya Ris." Ujar Adit tersenyum.
"Iyahh." Ujar Rissa dengan menahan tangis. Adit pun segera berlalu.
***
Srekk.. Suara tirai terbuka terdengar. Sinar matahari masuk menyilaukan mataku. Aku pun terbangun. Kulihat samar-samar bayangan seseorang disana. Itu bukan bik Siti.
"Cewek gak boleh bangun siang." Suara yang ku kenal. Itu Adit. Ia pun tersenyum.
"Lo ngapain disini?" Ujarku bingung.
"Cepet sana mandi, gue mau jalan-jalan di kebun teh." Ujarnya mengacak-acak rambutku lalu pergi keluar.
Setelah mandi dan berpakaian aku pun turun. Adit sedang duduk dan sarapan. Aku menghampirinya dan duduk didepannya. Bik Siti menyiapkan sarapan untukku.
"Lo mau kabur dari gue?" Ujar Adit membingungkanku.
"Maksudnya?" Aku tidak mengerti apa yang ia maksud.
"Gue kan belum bilang kalo permainannya belum selesai." Ujar Adit dengan nada liciknya. Aku hanya menarik nafas dan Adit tersenyum melihatku.
Kami berdua berjalan-jalan mengelilingi kebun teh. Hijaunya daun-daun teh mampu menyejukkan hati kami berdua. Adit memang hebat dengan cepat ia mampu merubah suasana diantara kami berdua. Canda tawa pun menghampiri kami.
Saat kami sedang bercanda aku hampir saja terjatuh dan Adit menarikku hingga aku jatuh kepelukannya. Ia tersenyum. Senyum yang berbeda dari sebelumnya. "Kalo jalan hati-hati." Ujarnya mengacak-acak rambutku. Aku mengangguk.
Hari sudah sore, kami berdua pun kembali menuju villa. Aku mulai letih.berjalan. Adit pun menggedongku. Awalnya aku menolak tetapi akhirnya aku menurutinya. Aku menaruh wajahku dibahunya. Aroma tubuh Adit menenangkanku. Aku pun tertidur.
"Jangan tinggalin gue ya." Ujarku mengigau. Adit pun tersenyum.
***
Aku duduk melihat bintang dari balkon villa. Adit pun menghampiriku dan duduk disebelahku. "Lo tau kapan kita pertama kali ketemu?" Ujar Adit.
"Saat gue nabrak lo." Ujarku.
"Salah, tiga tahun yang lalu saat pesta ulang tahun rekan bisnis orang tua kita." Ujar Adit. Aku menatapnya bingung. Memang dua tahun yang lalu aku pernah ikut papah, dan saat itu sangat ramai sekali.
"Lo yang duduk di tepi kolam kaya orang galau kan?" Ujarku teringat kejadian itu dan menggodanya. Adit pun tersenyum.
"Saat itu hari Rissa pindah ke Jakarta dan hari cinta gue ditolak." Aku Adit jujur. Aku hanya diam. "Saat itu lo dateng dengan keceriaan lo. Berbeda dengan gue ketemu lo kemaren." Ujarnya lagi.
"Hmmm lo pasti kecewa." Ujarku menaruh wajah dilenganku.
"3bulan yang lalu nyokap gue bilang mau jodohin gue sama seseorang. Awalnya gue nolak tapi saat gue tau itu lo gue berubah pikiran." Aku menoleh ke arah Adit. Ia tersenyum kepadaku. Aku hanya dapat menunduk.
"Gue tau ada yang beda dalam diri lo. Awalnya gue rada kesulitan nyari lo. Tapi secara gak sengaja lo nabrak gue. Walau lo sedikit berbeda tapi gue tau lo masih sama kaya yang dulu." Ujar Adit tanpa menoleh kearahku.
"Jadi ini bener-bener rencana lo?" Ujarku tanpa melihatnya.
"Untuk soal Rissa itu kebetulan. Gue juga gak nyangka Rissa bisa satu sekolah sama lo. Gue emang sempet bimbang antara lo dan Rissa. Apalagi sikap Rissa yang lebih welcome ke gue." Adit pun terdiam.
"Gue ngerti ko." Ujarku tersenyum lalu hendak bangun namun Adit menarikku hingga aku jatuh ke pelukkannya.
"Gue belum selesai." Bisik Adit ditelingaku. Ia mengambil sesuatu dari sakunya. "Nih." Ujar Adit memberikan sebuah kotak kepadaku. Aku membukanya ternyata sebuah cincin.
"Gue gak pernah main-main untuk soal pertunangan. Dari awal emang gue udah milih lo. Maaf karna gue sempet ragu." Ujar Adit tersenyum. Air mata menetes dengan lembut dipipiku. Adit telah memilihku.
Adit mengelap lembut air mataku. "Gue gak mau punya tunangan yang cengeng." Ujarnya tersenyum. Aku memeluknya. 1 minggu kemudian pertunangan kami pun secara resmi dilakukan. Yang datang hanya keluarga dekat saja. Rissa dan Yoga pun ikut hadir.
"Mulai sekarang lo harus pakai cincin itu sampai kita nikah." Bisik Adit.
"Iyahh." Ujarku memeluknya.
The End

KARMA



Siang itu sangat terik. Matahari bersinar terang. Aku duduk didalam kelas sendiri. Kulihat sayup-sayup angin menggoyangkan pepohonan di luar jendela.
"Hei, ngelamun aja." Ujar Icha mengagetkanku.
"Ah lo." Kataku dengan nada lesu.
"Kenapa? Lesu banget kayanya?" Ujar Icha duduk dihadapanku.
"Gak ko, kayanya ada yang lagi seneng ni." Ujarku menggoda Icha yang dari tadi memasang senyum yang mencurigakan.
"Ah bisa aja lo ta." Icha hanya nyengir kuda.
"So?" Ujarku sambil mengerutkan kening.
"Gue punya temen nih, orangnya baik banget. Dia gak mandang orang dari fisiknya." Ujar Icha mengebu-gebu.
"Lo gak ada niat jodohin gue kan?" Ujarku mulai curiga.
"Ya kan gue pernah janji mau nyariin lo cowok." Ujar Icha sambil nyengir.
"Gak ah, ntar dia suka sama lo lagi." Ujarku asal. Entah kenapa perasaanku tidak enak.
"Lo coba aja dulu, ya kan lumayan ta buat nambah-nambah temen aja." Ujar Icha memaksa.
"Gak deh cha." Kataku malas.
"Ayolah ta, mau ya mau ya." Ujar Icha penuh harap.
"Ya udah deh. Tapi gue gak janji ya." Ujarku akhirnya menyetujui permintaan Icha. Aku tak bisa menolak permintaan sahabatku yang satu ini.
"Iya, lo pasti gak nyesel deh." Ujar Icha dengan percaya dirinya.

***
Bel pulang sekolah berbunyi. Aku dan Icha ada janji untuk main kerumahnya. Kami memasak spaghetti dan pop corn. Tidak lupa kami menonton DVD yang baru saja kami beli sebelumnya.
"Ntar lo jangan lupa sms dia ya ta." Ujar Icha saat kami sedang menonton film.
"Masa gue yang sms duluan." Ujarku masih dengan tatapan kedepan layar.
"Hp lo deh." Ujar Icha meminta handphoneku.
"Ni." Ujarku memberikannya. "Btw lo mau ngapain?" Ujarku lagi kali ini aku melihat ke arahnya.
"Sms Raka. Biar lo bisa sms-san sama dia." Ujar Icha sambil mengedipkan matanya.
"Ya ya ya." Ujarku meneruskan nonton DVD dan mengambil beberapa pop corn.
Tanpa tau apa yang dilakukan Icha aku meneruskan menonton DVD. Setidaknya dia tidak akan berbuat yang aneh-aneh. Itulah yang hanya ada dipikiranku saat itu.
Film berakhir. Aku melihat jam tanganku. Sudah jam 5 sore dan aku harus buru-buru pulang. Aku tau pasti mamah dirumah sudah mencariku. Akhirnya aku pamit dan pulang ke rumah.

***

Aku berbaring diatas ranjang dengan setumpuk buku di sana. Pr dari sekolah sangat menumpuk malam ini. Pipp pipp... Suara handphoneku berbunyi. Ada sebuah pesan.
Lagi apa?
By » Raka
"Raka? Pasti temennya si Icha ni." Ujarku pelan. Aku pun membalas sms nya.
Sorry gue bukan Icha
Ini temennya
By » Ita
Tidak beberapa lama kemudian sms bls-an dari Raka pun datang.
Oh, iya gue tau ko.
By » Raka
Malam itu kami berbincang. Bisa kuakui Raka memang menyenangkan dan aku pun sedikit tertarik padanya.

***
"Ta, jadi gimana Raka?" Ujar Icha saat aku baru sampai di kelas.
"Ya lumayan." Ujarku acuh sambil meletakkan tas di atas meja dan duduk dihadapannya.
"Kita ajak dia ketemuan yuk." Ujar Icha dengan penuh semangat.
"Boleh." Ujarku singkat.
"Ya udah ntar ya pulang sekolah. Don't forget! Ok." Ujar Icha mengedipkan mata lalu pergi keluar kelas.

***

Aku dan Icha duduk di sudut cafe ceria. Kami dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang melintasi cafe ini. Cafe ini sangat ramai karna terkenal dengan es krim nya yang enak.
"Raka jadi dateng cha?" Ujarku sambil menyuap es krim coklat yang sudah kupesan sebelumnya.
"Kayanya si jadi. Tadi dia bilang lagi otw." Ujar Icha mengamati pengunjung cafe. "Itu dia." Ujar Icha sambil menunjuk ke arah pintu.
Aku menoleh dan kulihat sesosok cowok masih dengan seragam berdiri di sana. Cowok yang bisa dibilang cukup keren hingga mampu menarik perhatian seisi cafe.
"Sorry ya gue telat." Ujar Raka menghampiri kami berdua.
"Gak apa-apa kok ka, kita juga baru aja nyampe." Ujar Icha memasang senyum manisnya.
"Iya baru setengah jam yang lalu." Ujarku asal.
"Ita." Ujar Icha menyenggol tanganku membuat es krim yang hendak ku suap jatuh ke bajuku. "Uppss sorry." Ujarnya pelan.
"Icha kan kotor." Ujarku hendak membersihkan bajuku.
"Ya maaf ta, gak sengaja." Ujar Icha sambil nyengir.
"Pake ini aja." Ujar Raka memberikanku sapu tangannya. Dengan ragu aku mengambilnya.
"Thank's ya." Kataku. Sesuatu yang aneh terjadi padaku. Aku menjadi tertarik padanya.
"Iyap, santai aja." Ujarnya santai.
Kami membicarakan banyak hal. Aku melihat sepertinya Icha suka pada Raka, namun harus kuakui aku pun juga menyukainya. Melihat hari sudah semakin sore akhirnya kami mengakhiri pembicaraan kami.

***
Hari ini aku berjanji akan mengembalikan sapu tangannya. Kami berjanji akan bertemu di tempat kami bertemu kemarin. Aku melirik kearah jam tanganku. Aku terlambat.
"Sorry tadi gue ada pelajaran tambahan." Ujarku lalu duduk didepannya.
"Gue juga baru nyampe ko." Ujarnya santai. "Baru setengah jam yang lalu maksudnya." Ujarnya lagi. Aku terpaku melihat tingkahnya yang membalasku kemarin.
"Hmm bales yang kemarin ceritanya." Ujarku.
"Just kidding ta." Ujar Raka sambil tertawa.
"Oh ya, ni thank's ya." Ujarku mengeluarkan sapu tangan yang kemarin dia berikan.
"Yapp." Ujarnya santai. "Jadi lo udah lama temenan sama Icha?" Ujarnya lagi membuka pembicaraan.
"Lumayan, lo ko bisa kenal Icha?" Tanyaku penasaran.
"Iya dia temennya temen gue. Kenalnya si baru-baru ini." Ujar Raka.
"Hmm, lo suka ya sama dia?" Ujarku asal.
"Ko lo bisa bilang gitu?" Ujar Raka bingung.
"Asal nebak aja." Ujarku sambil nyengir.
"Wuu dasar. Sotoy lo." Ujar Raka sambil tertawa.
"Ssttt lo gak tau ya gue bisa baca pikiran?" Ujarku dengan wajah serius.
"Serius?" Ujar Raka dengan wajah ikut serius.
"Tapi boong." Ujarku tertawa melihat wajah lugunya.
"Rese lo ta." Ujar Raka menjitak kepalaku.
"Awww.." Ujarku sambil memegang kepala.
"Rasain." Ujar Raka dengan senyum kemenangan.
"Ssttt tau gak?" Ujarku dengan wajah serius kembali.
"Pasti lo mau ngerjain gue lagi kan." Ujar Raka.
"Serius." Ujarku meyakinkan.
"So? What?" Ujar Raka.
"Gue harus balik nih udah jam 4." Ujarku santai.
"Ita." Ujar Raka geram dia menjitakku hingga dua kali.
"Awww..."
Kami berdua berjalan keluar cafe. "Ayo gue anterin balik." Ujarnya sambil mengenakan helm.
"Gak usah deh ntar ngerepotin." Ujarku menolak dengan halus.
"Udah gak apa-apa." Ujar Raka sambil tersenyum. Aku pun menuruti ucapannya dan naik dibelangkangnya.

***

Sudah beberapa hari ini aku dan Raka sering bertemu. Kami pun sering bertukar pesan singkat lewat sms hanya untuk sekedar mengetahui apa yang dilakukan satu sama lain.
"Cha gue rasa lo bener deh soal Raka." Ujarku saat kami sedang duduk di kelas.
"Maksudnya?" Dengan wajah bingung.
"Iya he's funny cha." Ujarku sambil tersenyum. Memang beberapa hari ini aku selalu membicarakannya. Dan tanpa aku sadari Icha tidak menyukai pembicaraanku yang selalu membahas Raka.

***

Hari ini sudah seharian Raka tidak mengirimiku pesan. Aku duduk di tempat biasa kami bertemu, namun sosoknya tidak pernah muncul. Aku menelphonenya tapi nomornya tidak aktif sama sekali. Dia menghilang atau lebih tepatnya dia seperti menjauhiku.

***
"Besok anterin gue yuk ta." Ujar Icha ketika kami sedang istirahat makan.
"Kemana?" Ujarku sambil menyuap bakso yang baru kubeli.
"Ketemu Raka." Ujar Icha terlihat senang.
"Oh ya udah." Ujarku berusaha terlihat santai. Aku berusaha sebisa mungkin menyembunyikan perasaanku. Sepertinya feeling ku selama ini benar. Raka suka pada Icha.
Keesokan harinya kami bertemu dengan Raka dia membawa seorang temannya. Raka terlihat canggung ketika melihat Icha sedang bersamaku. Aku berusaha bersikap biasa. Dari gerak-gerik mereka berdua sepertinya mereka sering bertemu sebelumnya. Tapi kenapa Icha tidak pernah cerita? Bahkan Icha tidak memberitahuku nomor baru Raka. Raka benar-benar menjauhiku.

***

Siang itu setelah pulang sekolah aku, Icha, Putri, dan Citra pergi ke rumah Gina. Selama diperjalanan Icha selalu berbicara ditelephone tetapi aku tidak tahu dia berbicara dengan siapa.
"Cha, ngobrol sama siapa si?" Ujarku penasaran.
"Raka ta." Ujar Icha. Dari raut wajahnya aku bisa melihat ada kesenangan di sana. Entah kenapa tiba-tiba sesuatu yang menyesakkan terasa dihatiku. Aku berusaha bersikap biasa saja.
Semakin lama semakin membuatku bingung. Apa yang harus kulakukan? Ternyata tanpa sepengetahuanku mereka memang sering jalan bersama. Aku hanya diam dan berusaha bersikap acuh dengan semua itu. Hatiku perih tersayat-sayat. Aku tidak suka dengan cara mereka. Bahkan aku tidak mengerti dengan mau mereka.
Aku hanya bisa memendamnya. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus menyalahkan Icha karna dia semuanya bermula? Atau aku harus menyalahkan Raka? Akhirnya aku memutuskan untuk menjauhi Raka dan tidak memikirkan masalah ini lagi. Hingga suatu hari hal yang benar-benar sudah kuduga pun terjadi.
"Ta, gue mau cerita sama lo tapi lo jangan marah ya." Ujar Icha saat kami sedang duduk-duduk di taman sekolah.
"Iya, cerita apa?" Kataku sambil memerhatikan pertandingan sepak bola antar kelas.
"Tapi lo janji dulu jangan marah." Ujar Icha dengan muka serius.
"Iya sayang, emang kenapa si?" Ujarku akhirnya menyimak dengan serius perkataannya.
"Gue jadian sama Raka." Ujar Icha pelan. Sesuatu yang menusuk dihatiku terjadi lagi. Ini yang aku takutkan dari awal. Raka suka pada Icha.
"Lo marah ya ta." Ujar Icha membuyarkan lamunanku.
"Dari awal gue udah bilang cha gue gak mau, tapi lo nya malah maksa. Gue kan bilang Raka suka sama lo." Ujarku berusaha acuh tetapi aku tidak bisa menyembunyikan mimik mukaku. Icha sudah mengenalku sejak dulu pasti dia tahu aku marah.
"Iya Raka suka sama gue. Saat lo deket sama dia gue ngerasa cemburu dan gue baru sadar gue juga suka sama dia." Ujar Icha lesu.
"Semuanya udah terjadi cha, percuma juga kan disesalin. Sekarang gue tanya lo suka gak sama dia?" Ujarku sudah bisa mengontrol emosiku. Icha hanya diam tidak menjawab pertanyaanku.
"Kalo lo suka sama dia jalanin aja. Gue juga gak suka sama dia. Gue cuma gak suka sama cara dia yang tiba-tiba ganti nomor. Kalo dia ngerasa gue ngeganggu dia gue juga gak bakal hubungin dia lagi." Ujarku berusaha bersikap dewasa padahal jauh di dalam lubuk hatiku terasa sakit.
"Iya ta, maafin gue ya." Ujar Icha pelan.
"Ya udahlah cha, semuanya udah terjadi ngapain disesali? Lain kali jangan kenalin gue lagi ke temen lo lagi oke. Gue gak mau kejadian ini terulang lagi. Gue gak mau kita berantem cuma gara-gara masalah kaya gini." Ujarku memaksakan senyum.
"Iya ta, gue kapok ngenalin lo ke temen gue." Ujar Icha dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya. Mungkin karna dia sudah merasa lebih baik.
***
Setelah kejadian itu aku tidak ingin mendengar cerita tentang Raka. Waktu itu buku catatan Icha ketinggalan di rumah, ia meminta Raka untuk mengambilkannya. Saat Raka sudah berada di luar sekolah ia meminta Putri untuk mengantarkannya menemui Raka.
Entah kenapa sejak kejadian itu aku menjadi sangat membenci Raka. Pernah suatu hari Icha memintaku menemaninya bertemu Raka sebentar aku mengiyakan permintaannya. Tetapi saat bertemu Raka aku hanya diam seribu bahasa. Entah kenapa aku mengeluarkan aura supaya dia menjauh. Entah dia sadar atau tidak tapi aku tak perduli.
Aku pernah melihat handphone Icha di sana aku tidak sengaja melihat foto mereka berdua. Aku tidak suka melihatnya, mendengar namanya saja sudah membuatku kesal apalagi harus melihat wajahnya. Aku membencinya.

***

Sudah dua minggu berlalu sejak kejadian itu. Suatu malam aku sedang mendengarkan musik di kamar. Ada sebuah pesan singkat masuk di handphoneku.
Lagi apa ta?
By » Raka
"Ngapain ni orang sms gue? Bukannya dia gak mau gue tau nomor dia?" Ujarku masih kesal dengan kejadian yang waktu itu.
Dengerin musik, napa?
By » Ita
Tidak beberapa lama bls-an darinya pun tiba.
Gpp, gue mau minta maaf sama lo
By » Raka
Buat? Mang lo tau salah lo apa?
By » Ita
Gak tau, tapi gue ngerasa punya salah sama lo
By » Raka
Kalo lo aja gak tau salah lo apa ngapain minta maaf?
By » Ita
Gue mau minta maaf soal kejadian kemarin
By » Raka
Jujur gue masih belum bisa terima sama yang lo lakuin. Kalo mang gue ganggu lo, lo gak perlu sampe ganti nomor gitu
By » Ita
Iya, gue tau gue salah
Gue minta maaf
By » Raka
Gue gak pernah minta nomor lo ko. Tapi Icha yang ngasih.
By » Ita
Iya gue tau ko
By » Raka
Yaudahlah lupain aja semuanya
By » Ita
Aku berusaha menahan amarahku yang sudah mulai meledak. Aku tidak ingin mengingat kejadian itu. Walau aku masih belum bisa terima apa yang telah dia perbuat.
Tiba-tiba Raka membalas pesanku begini.
Icha gak nganggep gue pacarnya
By » Raka
Entah kenapa aku senang membaca pesannya itu. "Karma masih berlaku." Ujarku senang.
Maksud lo?
By » Ita
Waktu itu gue nganterin dia kerumah temennya. Tapi dia malah bilang gue cuma temennya.
By » Raka
Aku mulai malas membalas pesan Raka. Setidaknya dia mendapatkan apa yang pernah aku rasakan. Karna kasihan aku masih membalasnya namun kali ini sangat singkat.
Ohhh
By » Ita
Mungkin dia belum bisa lupain mantannya kali
By » Raka
Aku tidak membalas pesannya lagi. Aku sudah benar-benar malas meladeninya. Allah memang adil. Semenjak hari itu Raka benar-benar menghilang dari kehidupanku maupun Icha. Aku tidak menyesal karna harus merasakan sakit. Asalkan sahabatku bahagia aku rela.
The end