Saturday, 31 January 2015

Young Marriage


       Aku adalah seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Kegiatan sehari-hariku sama seperti mahasiswa lain, dan aku ikut dalam himpunan mahasiswa kampus. Pembicaraan yang sering aku lakukan hanya sekedar seputar kampus, tempat main, dan organisasi. Semua mulai berubah saat usiaku menginjak 20 tahun.
       Ada seorang teman yang mengatakan padaku jika usia kita sudah mulai 20 tahun maka kita sudah mulai memikirkan soal pernikahan. Awalnya aku biasa saja menanggapinya namun lama-kelamaan teman-temanku mulai membahasnya. Aku selalu pergi melarikan diri apabila ada temanku yang mulai membicarakan pernikahan. 
       "Kemarin temen SMP gue ada yang nikahan." ujar Donna.
       "Bukannya dia baru 20 tahun? udah nikah?" ujar Tiara.
      "Iya, katanya si dia dijodohin sama orang tuanya. Hmm enak ya gue juga mau nikah." ujar Donna.
       "Oiya gue lupa ada janji mau ketemu ka Al di BEM." ujarku asal.
       "Ok deh, hati-hati ya kepanah sama panah cintanya ka Al." ujar Tiara menggodaku. Aku hanya diam tidak menghiraukan ucapan Tiara.
       Aku berjalan perlahan menuju BEM, aku sebelumnya memang tidak ada rencana bertemu ka Al itu hanya alasanku semata. 'Kenapa semua orang udah ngomongin pernikahan ya?' batinku.
       BEM kami berada di dekat taman berbeda gedung dengan kelas yang ada. Dari jauh kulihat sosok ka Al sedang memainkan laptopnya. Aku menghampirinya.
       "Eh Nad, ko sendirian aja." ujar ka Al saat aku duduk di sebelahnya.
       "Iya ni ka, btw kaka lagi nonton apa?" ujarku melirik ke arah layar laptopnya.
       "Ini Hunger Games yang pertama kaka waktu itu belum sempet nonton." ujar ka Al tersenyum.
       "Yang ketiga aja udah keluar ka baru nonton yang pertama?" ujarku menggoda ka Al.
       "Iya, hehe, eh nonton yang ketiga yuk." ujar ka Al tersenyum, deg tiba-tiba hatiku berdetak kencang. Aku memang menyukai ka Al dari awal masuk kuliah.
       "Boleh, nanti kabarin aja ka kalo jadi." ujarku senang. "Btw udah sore ka aku balik dulu ya." ujarku lagi.
       "Ok deh, nanti kakak kabarin kalo jadi. Hati-hati ya di jalan kalo jatuh inget bangun sendiri hehe." ujarnya.
       Perjalanan pulang kali ini terasa lebih menyenangkan. Aku duduk di stasiun busway sambil tersenyum. 'ka Al ngajak nonton.' batinku. Sore itu terasa begitu indah.

***

       Tok... Tok... suara pintu kamarku berbunyi. "Nadia." ujar mamah dari balik pintu kamarku.
       "Masuk aja mah." ujarku masih dengan pandangan di depan laptop. Malam ini harus menyelesaikan laporan untuk besok.
       "Sabtu besok kamu di rumah kan?" ujar mamah duduk di ranjangku.
       "Sabtu aku ke kampus mah, ada acara. Tapi aku usahain sore udah pulang. Kenapa emangnya?" ujarku bingung.
       "Sabtu besok temen papah ada yang mau main kemungkinan si bakalan nginep. Jadi kamu kalo bisa pulangnya buruan ya jangan lama-lama di kampus." ujar mamah mengelus lembut rambutku.
       "Iya mah, aku usahain." ujarku tersenyum.
       "Kalo gitu mamah turun dulu ya." ujar mamah keluar dari kamarku.
       "Tumben banget ada temen papah main sampe mau nginep." ujarku pelan.
       Rumahku memang lumayan luas terdapat 5 kamar tidur di dalamnya, 2 kamar dibawah dan ada 3 kamar diatas. Dibawah ada kamar papah dan mamah serta satu kamar tamu, sedangkan di atas ada kamarku dan ka Faris serta satu kamar tamu. Sejak ka Faris menikah dan menempati rumahnya sendiri rumah terasa sepi. Terkadang aku sering ke rumah ka Faris untuk bermain bersama Tommy yang usianya sudah 1 tahun. Aku biasa memanggilnya Ommy.
       "Hmmm.. Harus kembali fokus ke laporan nih." ujarku kembali terlarut dalam laporan yang harus kubuat.

***
      
       Dua hari sudah berlalu sejak kejadian di bem. Namun, ka Al belum mengajakku pergi. Aku duduk di meja registrasi. Sabtu ini ada acara Seminar Nasional yang diadakan oleh fakultas. Aku duduk sambil melamun. "Si Tami pasti kesiangan." keluhku pelan.
       "Jangan pasang bt gitu nanti yang daftar ulang pada kabur." ujar seseorang tiba-tiba duduk di sebelahku.
       "Eh ka Al." ujarku kaget.
       "Kamu ko jaga sendiri?" ujarnya sambil melihat daftar peserta yang sudah absen.
       "Iya, Tami nya belum dateng. Eh ka nanti aku izin pulang cepet ya ada urusan di rumah." ujarku nyengir kuda.
       "Ada urusan apa mau malem mingguan?" ujar ka Al menganggkat kedua alisnya.
       "Ye kakak, punya pacar juga gak." ujarku asal.
       "Bisa aja kamu. Eh Senin nonton yuk." ujar ka Al ingat dengan janjinya.
       "Asik ada yang mau traktir ni." ujarku bercanda.
       "Iya selow, lagian kan kakak yang ngajak. Btw kakak bantuin yang lain dulu ya." ujar ka Al beranjak masuk ke ruangan seminar. Aku hanya tersenyum melihatnya sampai menghilang dari pandanganku.
       "Nadiaaaa." ujar seseorang memanggilku. Aku menoleh dan kulihat Tami berlari kearahku.
       "Ini udah jam berapa neng?" ujarku sebal.
       "Sorry sorry tadi gue kesiangan." ujarnya nyengir kuda.
       "Kebiasaan." ujarku menjitaknya.
       "Aw... Lo tuh ya biasa banget deh kalo gak jitak pasti nyubit." ujar Tami mengelus kepalanya. Kami pun tertawa.
       "Stttt..." ujar seorang senior yang melihat tingkah kami. Kami hanya senyam senyum saja.
       Seminar pun selesai dengan lancar. Setelah selesai aku pamit kepada panitia yang lain untuk izin pulang duluan. Saat aku keluar kampus tiba-tiba handphoneku berbunyi. 
       "Hallo ka Faris." ujarku mengangkat telepon.
       "Kamu dimana de? Kakak mau ke rumah ni sekalian lewat kampus kamu." ujarnya.
       "Aku baru mau pulang ka. Aku tunggu halte ya." ujarku senang.
       30 menit aku menunggu di halte memang rumah ka Faris tidak terlalu jauh dari kampusku. Aku mendengarkan musik untuk menghilangkan rasa bosanku. Tak lama sebuah mobil Avanza berhenti didepanku. Kaca nya terbuka, kulihat ka Faris dan ka Syifa di dalamnya. Aku pun berjalan memasuki mobil tersebut.
       "Kamu abis ada acara de?" ujar ka Syifa ramah.
       "Iya ka, tapi aku kabur duluan hehe." ujarku malu sendiri.
       "Coba kakak ketuanya pasti kakak gak bakal izinin kamu kabur." ujar ka Faris asal.
       "Tapi sayang ketua aku baik gak kaya kakak weee." ujarku. Ka Syifa hanya tersenyum melihat tingkah kami berdua.
       "Ka Syifa sama Ommy mau nginep kan di rumah?" ujarku senang.
       "Iya, tapi minggu pulang. Kan mas Faris harus kerja." ujar ka Syifa ramah sambil memangku Ommy yang sekarang umurnya sudah 1 tahun.
       "Ka Faris mah biarin aja ka." ujarku asal.
       "Hmm, jadi tega nih sama kakak sekarang?" ujar ka Faris dengan mata masih fokus ke jalan.
       "Hehe just kidding." ujarku nyengir. Kami pun banyak mengobrol bersama ditambah dengan si kecil Delia yang super aktif menambah riang suasana disana.

***

       Satu jam perjalanan kami pun sampai dirumah. Kulihat papah sedang mengobrol dengan seseorang di halaman depan. 'Sepertinya itu om Satrio.' batinku. Kami bertiga menghampiri mereka. Papah langsung menggendong jagoan kecilnya. Aku dan ka Syifa masuk ke dalam. Sedangkan papah, om Satrio, dan ka Faris mengobrol diluar ditambah dengan Ommy kecil.
       "Mah, ada ka Syifa." ujarku menghampiri mamah yang sedang menyiapkan makanan. Disana aku melihat seorang wanita cantik seusia dengan mamah tengah membantunya. Aku dan ka Syifa pun salim kepada kedua wanita itu.
       "Mah, Nadia mau ke kamar dulu ya." ujarku tersenyum.
       "Nanti kalo kamu mau turun ajak Rama juga ya sekalian." ujar mamah.
       "Rama?" ujarku bingung.
       "Iya, Rama anaknya tante Ani." ujar mamah lagi. Tante Ani tersenyum melihatku.
       "Siap boss." ujarku nyengir. 'Kayanya si Rama itu paling masih sekolah' batinku.
       Aku berjalan menaiki tangga. Aku mendengar suara musik dari depan pintu kamar tidurku. "Kayanya anaknya tante Ani dikamar." ujarku pelan lalu masuk ke kamar. 
       Aku memasuki kamar dan langsung mandi. Setelah berpakaian, aku bersiap untuk turun. Aku ingin secepatnya menggendong Ommy kecil. "Oh iya, Rama." ujarku teringat pesan mamah.
       Tok... tok... Aku mengetok pintu kamar tamu yang berada tepat didepan kamarku. Lama tak ada jawaban. Aku pun membuka pintu kamar tersebut. Kulihat seorang cowok tengah tertidur dengan musik yang masih menyala.
       "Pantesan aja gak ada jawaban." ujarku. Aku medekati cowok itu. Deg. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang saat melihat wajahnya yang tertidur. Cowok itu putih, tinggi dan tampan. 'Eh tunggu, kalo gitu dia harusnya bukan sekolah tapi udah kuliah.' batinku.
       "Lo ngapain di sini?" ujarnya mengagetkanku. Cowok itu pun bangun masih setengah sadar.
       "Eh, gue mau." ujarku bingung. Cowok itu terus menatapku membuat aku semakin salah tingkah.
       "Mau apa?" ujarnya dengan nada curiga.
       "Mamah nyuruh lo turun." ujarku lalu kabur keluar dari kamar tersebut. 
       "Aduh, kenapa gue gugup si udah kaya maling aja, gue gak salah ko." keluhku.
       "Kamu kenapa de?" ujar ka Faris yang baru keluar dari kamarnya bingung melihat tingkahku.
       "Eh gak apa-apa ka, Ommy mana ka?" ujarku.
       "Di dalem baru aja abis mandi. Masuk aja." ujar ka Faris.
       "Ok deh." ujarku tersenyum. 
       Aku pun masuk ke kamar ka Faris disana kulihat ka Syifa sedang memakaikan Ommy baju. "Ommy." ujarku menghampirinya dia pun tertawa dan ka Syifa hanya tersenyum.
       "De, kakak bisa titip Ommy bentar? Ka Syifa mau mandi soalnya." ujar ka Syifa setelah selesai memakaikan Ommy baju.
       "Ok deh ka." ujarku tersenyum. Aku pun menggendongnya dan membawanya keluar. Saat aku membuka pintu terlihat Rama baru saja keluar dari kamarnya.
       "Kenapa bisa pas gini si." ujarku pelan. Dia memperhatikanku lalu menghampiriku. Aku hanya terdiam bingung.
       "Ini anak lo?" ujarnya memegang tangan Ommy.
       "Ini keponakan gue." ujarku bt. Tapi Rama tidak memperdulikan ucapanku. Ommy terlihat menyukai Rama. Ia bahkan minta untuk digedong oleh Rama. Aku terpaku terdiam melihatnya.
       "Kayanya anak lo lebih suka digendong gue daripada sama ibunya sendiri." Ujar Rama mengendong Ommy. Ommy terlihat senang.
       "Ih itu keponakan gue." ujarku sebal lalu bergegas pergi meninggalkannya. Namun langkahku terhenti, aku lalu menoleh lagi. "Yuk turun." ujarku lagi.
       Rama pun menghampiriku dan kami berdua turun ke bawah bersama. Ternyata di ruang keluarga semuanya sudah berkumpul. Mereka semua melihat ke arah kami. Aku hanya bisa tersenyum. ka Faris menghampiriku dan menggendong Ommy kecil.
       "Anak ayah udah ganteng." ujarnya mengendong Ommy dan duduk di antara papah mamah serta om Satrio dan tante Ani. Aku dan Rama pun ikut duduk bersama. Entah kenapa aku merasa seperti Rama terus melihat ke arahku.
       Setelah ka Syifa turun kami berdelapan makan malam bersama di meja makan. Banyak pembicaraan yang dilakukan papah dan om Satrio mengenai cerita mereka waktu sekolah. Kami semua hanya tertawa mendengar kisah-kisah konyol yang mereka alami.
       Setelah selesai makan aku membantu ka Syifa membereskan meja makan. Bibik sudah pulang ke rumah tadi sore sebelum maghrib. Saat yang lain duduk di ruang keluarga aku dan ka Syifa berdua berada di dapur.
       "Ka masa aku disangka mamahnya Ommy sama Rama." aduku ke ka Syifa tapi ia hanya tertawa.
       "Paling dia cuma becanda ko." ujar ka Syifa.
       "Oh iya ka, papah sama mamah gak punya renana yang aneh-aneh kan?" ujarku teringat dengan Rama yang hampir seusia denganku.
       "Emang menurut kamu gimana?" ujar ka Syifa duduk didepanku. Kami sudah selesai membereskan meja makan.
       "Hmm gak tau ka, temennya temen aku ada yang nikah terus dijodohin lagi." ujarku teringat cerita Donna.
       "Terus kamu mau juga?" ujar ka Syifa menggodaku.
       "Aku masih kemudaan buat nikah ka. Kuliah aja belum lulus." keluhku.
       "Kakak becanda ko." ujar ka Syifa tersenyum. "Sekarang jangan mikir yang aneh aneh nanti kamu bingung sendiri. Kakak mau ke sana dulu ya." ujar ka Syifa mengelus lembut rambutku. Aku hanya tersenyum.
       Aku melihat keluar pintu kaca dapur yang dekat dengan kolam renang. Seseorang tengah duduk di sana. Aku pun berjalan menghampirinya. "Lo ngapain malem-malem sendirian di sini?" ujarku duduk disebelahnya.
       "Lo." ujarnya singkat. Diam menyelimuti kami berdua. Aku memainkan air dengan kedua kakiku.
       "Gak jagain anak lo lagi?" ujarnya memecah keheningan.
       "Itu keponakan gue tau." ujarku sebal dan dia pun tertawa.
       "Gue becanda ko." ujarnya tersenyum.
       "Oh iya lo mang darimana?" ujarku membuka pembicaraan baru.
       "Bandung." ujarnya singkat. Diam kembali menyelimuti kami berdua.
       "Lo ikut organisasi di kampus?" ujarnya kembali membuka pembicaraan.
       "Iya, kalo lo?" ujarku menoleh ke arahnya. Rama bahkan terlihat jauh lebih tampan dari dekat.
       "Gue gak pernah ikut organisasi di kampus." ujarnya.
       "Kenapa?" ujarku bingung.
       "Setiap gue ikut organisasi banyak cewek cewek yang deketin gue, gue gak nyaman aja." ujarnya dengan mata tertuju ke langit.
       "Lo pasti kupu-kupu ya?" ujarku asal. Kupu-kupu sebutan untuk orang yang kuliah langsung pulang.
       "Gak juga si, kadang gue suka ikut acara kampus kalo itu menarik buat gue, atau gak duduk duduk di dago sama anak-anak." ujarnya.
       "Hmm, pasti lo tukang main." ujarku tersenyum sejenak ia terdiam lalu mengacak-acak rambutku.
       "Aduh rambut gue berantakan tau jadinya." ujarku sebal. "Oh iya, btw lo dalam rangka apa ke Jakarta?" ujarku bingung.
       "Hmm, gue mau kerja disini." ujarnya lagi.
       "Lo udah lulus?" ujarku kaget.
       "Baru aja wisuda kemarin." ujarnya tersenyum.
       "Berarti lo udah tua juga ya." ujarku asal.
       "Ye enak aja, kita beda 2 tahun doang ko." ujarnya.
       "Mang lo tau umur gue?" ujarku bingung.
       "Hmmm, kalo gue tebak si lo sekarang 30 tahun." ujarnya dengan wajah serius. Aku memasang wajah sebal. "Dikurang 10." ujarnya lagi. Ia tersenyum lalu bergegas untuk masuk ke dalam. Aku hanya tersenyum melihatnya hingga ia menghilang dari hadapanku. 

***

       Minggu pagi aku terbangun karna Ommy. Ka Faris selalu usil kalo di rumah. "Ka Faris, aku masih ngantuk." ujarku setengah bangun. Tapi Ommy terus saja membangunkanku. Aku pun terpaksa bangun, namun yang kulihat bukan ka Faris disana melainkan Rama.
       "Rama." ujarku bingung.
       "Udah siang masih tidur aja. Tuh anak lo udah nyariin." ujarnya asal.
       "Aduh dia keponakan gue Rama, lagian lo ngapain disini?" tanyaku yang sekarang sudah dalam kondisi duduk di ranjang bersama Ommy.
       "Ka Faris minta gue bangunin lo eneng geulis, udah ah gue mau sarapan. Ommy yuk kita sarapan biarin aja mamahnya yang kebo tidur." ujar Rama menggendong Ommy.
       "Rama." ujarku sebal. Rama pergi keluar dengan membawa Ommy. Di depan pintu kamar ka Faris sudah menunggunya. 
       "Pasti kerjaan ka Faris." ujarku kesal. Aku pun bangun dan bergegas mandi. Setelah itu aku turun ke bawah. Ternyata semuanya sudah selesai makan. Aku berjalan menuju meja makan dan Rama duduk disana.
       "Lo ngapain disini sendirian?" ujarku bingung.
       "Nungguin lo, gue jadi nyesel kenapa tadi gue gak makan duluan aja kalo tau lo bakal lama." ujarnya kesal.
       "Ye lagian siapa suruh nungguin gue?" ujarku asal. Diam menyelimuti kami berdua. Kami berdua makan dalam diam.
       "Thanks udah nungguin gue." ujarku pelan.
       "Hmmmm..." ujarnya singkat.
       "Tapi kenapa lo nungguin gue?" ujarku bingung.
       "Gue gak tega aja ntar lo gak mau makan kalo cuma sendiri." ujarnya.
       "Hah? kata siapa?" ujarku bingung.
       "Ka Faris." ujarnya singkat. Aku tertawa melihat tingkah Rama yang polos.
       "Ko lo malah ketawa si?" ujarnya bingung.
       "Lo itu dikerjain ka Faris. Tapi thanks gue gak perlu makan sendiri jadinya." ujarku tersenyum. Rama pun ikut tersenyum. Deg. jantungku tiba-tiba berdetak kencang kembali.
       "Hmmm.. sweet banget si makan berduaan." ujar ka Faris mengagetkanku. 
       "Ka Faris." ujarku bangun dan mengejarnya. Rama hanya tersenyum melihat kami berdua.

***

       Aku menonton TV di ruang keluarga yang berada di atas. Tiba-tiba seseorang menghampiriku dan itu Rama. "Lo nonton apa?" ujarnya duduk di sebelahku.
       "FTV nih." Ujarku singkat. 
       "Gue heran deh, padahal FTV ceritanya udah ketebak tapi kenapa tetep banyak yang nonton ya?" ujarnya bingung.
       "Ya itulah daya pikatnya, lagian mending FTV daripada sinetron." ujarku asal.
       "Eh lo kan gak sibuk, anterin gue yuk." ujar Rama tiba-tiba.
       "Kemana?" ujarku bingung.
       "Bokap minta anterin ke tempat saudara." ujar Rama.
       "Terus? ko ngajak gue?" ujarku bingung.
       "Iya daripada ntar gue jadi obat nyamuk seengaknya gue punya temen ngobrol." ujarnya.
       "Pokoknya gue tunggu dibawah ya. Jangan lama-lama dandannya." ujarnya lagi lalu pergi turun ke bawah.
       "Ih ni orang ya seenaknya aja deh." keluhku kesal.
       "Kenapa de?" ujar ka Syifa mengagetkanku.
       "Itu ka si Rama tiba-tiba minta anterin." ujarku.
       "Yaudah anterin aja, mungkin dia gak tau jalan." ujar ka Syifa.
       "Iya ka, aku ganti baju dulu ya." ujarku memasuki kamar.
       15 menit aku sudah turun ke bawah, aku mengenakan rok pendek dipadu dengan kaos polos. Simple tapi bisa dibilang rapih. Aku menghampiri Rama yang terdiam melihatku.
       "Yuk jalan bengong aja." ujarku mengagetkannya.
       "Eh iya, yuk jalan, bokap sama nyokap udah nungguin." ujarnya berjalan keluar.
       "Mah pah pergi dulu ya." ujarku pamit.
       "Iya inget jangan bandel ya, Ram titip ya." ujar papah kepada Rama.
       "Pah apa si." ujarku sebal.
       Kami berempat pergi ke daerah kemang tempat saudara om Satrio berada. Rama yang membawa mobil itu. Perjalanan satu setengah jam terasa cepat. Keluarga om Satrio sangat ramah dan baik terhadapku. 
       Kami pun disambut dengan baik di sana. "Ka Rama." ujar seorang cewek yang tampak usianya tak jauh dariku.
       "Hey Lit." ujarnya tersenyum. 
       "Ini siapa ka?" ujar Lita melirik kearahku.
       "Lita ini Nadia, Nadia ini Lita." ujar Rama mengenalkan kami berdua.
       "Lita." ujarnya ramah.
       "Nadia." ujarku tersenyum. Lita anak yang sangat ramah dan baik, selain itu dia juga cantik. 'Kayanya Rama bisa suka sama dia.' batinku. "Ko gue jadi cemburu." ujarku pelan.
       "Cemburu kenapa Nad?" ujar Lita menghampiriku.
       "Eh gak. hehe." ujarku nyengir.
       "Nad balik yuk." ujar Rama menghampiriku.
       "Ok deh, Lit balik dulu ya." ujarku tersenyum. 
       "Sipp, jagain ka Rama ya Nad, kalo bandel cubit aja hehe." canda Lita, akupun hanya tersenyum mendengarnya.
       "Eh om sama tante gak ikut?" ujarku bingung.
       "Gak, kan kita itu ke sini nganterin bokap ke sini, makanya gue ngajak lo." ujarnya lagi.
       "Oh gitu." 
       Kami berdua memasuki mobil jazz merah. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. "Hallo mah?" ujarku menjawab telepon.
       "Nadia bisa tolong mamah ke supermarket bentar?" ujar mamah.
       "Iya mah mau beli apa?" ujarku.
       "Nanti mamah sms daftar belanjanya, makasih sayang." ujar mamah menutup teleponnya.
       "Kenapa Nad?" ujar Rama.
       "Temenin gue yuk ke supermarket. Nanti gue traktir makan deh yah." ujarku dengan nada memohon.
       "Selow aja lagi gak usah sampe nyogok juga." ujar Rama mengacak rambutku. Mobil jazz merah melaju meninggalkan daerah kemang. 

***

       Kami berbelanja di salah satu supermarket yang kami lewati. Sepanjang jalan setiap mata memandang ke arah kami berdua. Aku melirik ke arah Rama namun dia hanya cuek saja tak terlalu memikirkan pandangan orang.
       "Ram, lo gak ngerasa kita lagi di liatin?" ujarku ketika kami sedang mencari barang belanjaan.
       "Gak, lagian juga kalo ternyata mereka bukan ngeliat kita gimana?" ujar Rama cuek sambil mendorong trolli belanjaan.
       "Wuu itu mah lo nya aja gak peka." ujarku sambil melihat pesan mamah.
       "Ini bukan masalah peka atau engga Nad. Coba nih sekarang kalo kita mikirin pandangan orang yang ada hidup kita gak tenang." ujar Rama santai.
       "Iya si lo bener, eh tapi..." ujarku belum sempat aku melanjutkan ucapanku tapi Rama sudah menghentikannya.
       "Udah gak ada tapi-tapian, sekarang apalagi yang kurang?" ujar Rama sambil melihat-lihat belanjaannya.
       "Udah ko, udah semua." ujarku. 
       Aku pun membayar belanjaan dikasir, Rama menungguku dengan troli penuh belanjaan. "Eh itu suaminya baik banget ya, bawain belanjaan." ujar kasir yang berada tak jauh dariku.
       "Iya bener, mana ganteng lagi. Istrinya juga manis, kayanya pasangan baru deh." ujar kasir yang satunya. Aku hanya tersenyum malu.
       "Ini mba kembaliannya." ujar kasir yang melayaniku.
       "Makasih mba." ujarku. Aku menghampiri Rama lalu kami berjalan keluar dari supermarket menuju mobil.
       Aku berusaha menahan tawa dan Rama menyadarinya. "Lo kenapa senyam senyum dari tadi?" ujar Rama memasukkan belanjaan ke mobil.
       "Ya lucu aja, masa tadi kita disangka pasangan baru. Hmm, pasti gara-gara belanjaan mamah yang banyak ini." ujarku asal.
       "Ko lucu?" tanya Rama.
       "Iya, lucu aja. Kan kita masih muda masa disangka udah nikah aja." ujarku jujur.
       "Kalo gue ngelamar lo gimana?" ujar Rama serius.
       "Lo becanda kan?" ujarku sedikit takut. Rama tertawa melihatku gugup.
       "Ih lo bikin gue takut aja." ujarku lega.
       "Lah? ko takut? emang lo gak mau nikah?" ujar Rama bingung.
       "Bukannya gak mau, tapi sekarang gue belum siap aja." ujarku melihat keluar kaca mobil. "Eh makan yuk." ujarku menoleh ke arahnya. Ekspresi wajah Rama berubah dan aku merasakan adanya aura yang berbeda.
       "Hmm boleh, mau makan apa?" ujar Rama tersenyum. 'Mungkin perasaan aku aja.' batinku.
       "Pecel lele yuk, lo suka gak?" ujarku.
       "Boleh, asal jangan seafood aja." ujar Rama.
       "Kenapa emangnya? lo alergi?" ujarku bingung.
       "Iya, jadi lo gak boleh ngasih gue makanan apapun yang ada seafoodnya ok?" ujar Rama menjelaskan.
       "Siap boss, eh tapi lo gak alergi lele kan? kalo alergi lo bisa mesen ayam ko." ujarku. "Jadi kita tetep makan disana apa mau ganti?" ujarku dengan hati-hati.
       "Iyah." ujar Rama lembut.
       "Ok deh, lo tau jalan kan?" ujarku asal.
       "Selow, gue biasa main di sekitar sini. Ya gak biasa juga si cuma gue sering jalan-jalan di Jakarta sama Lita." ujar Rama.
       "Oh, lo deket ya sama Lita." ujarku pelan.
       "Ya lumayan, hmm, lo gak cemburu kan?" ujar Rama masih fokus dengan jalanan.
       "Ye kenapa harus cemburu." ujarku. 'Masa iya gue cemburu, Rama kan bukan siapa-siapa gue.' batinku.
       Mobil melaju melintasi jalanan ibu kota yang sudah sunyi. Diam menyelimuti kami berdua. "Yuk turun." ujar Rama saat kami sampai di sebuah kedai kaki lima di pinggir jalan.
       "Lo mau apa?" ujar Rama hendak memesan.
       "Gue mau lele sama teh manis anget aja." ujarku.
       "Pak lele 1, ayam 1 sama teh manis angetnya 2 ya." ujar Rama memesan makanan. Kami duduk bersebelahan. Hawa dingin malam hari mulai membuat tubuhku dingin. Rama melepaskan jaket yang ia kenakan. 
       "Nih pake." ujarnya singkat. Aku masih terdiam. "Hmm, apa lo mau gue pakein kaya di FTV?" ujar Rama menggodaku.
       "Gue pake sendiri aja deh." ujarku memberi respon.
       "Lo kenapa diem aja?" ujar Rama bingung.
       "Gak apa-apa lagi ngantuk aja." ujarku menahan kantuk.
       "Dasar." ujar Rama mengacak-acak rambutku.
       "Eh iya, gue baru inget, kalo om sama tante di kemang, lo ditinggal?" ujarku baru kepikiran hal penting.
       "Iya, kan gue emang mau tinggal di rumah lo selama kerja disini. Lagian gue kan udah gede juga." ujar Rama bingung.
       "Hah?" ujarku kaget.
       "Biasa aja kali Nad. Lo takut gak kuat liat kegantengan gue ya tiap hari?" ujar Rama pd.
       "Ih pd lo." ujarku menjitaknya. "Ups, sorry kebiasaan hehe." ujarku namun Rama biasa saja tidak menunjukkan akan marah.
       "Eh tunggu deh, gue mau nanya sama lo." ujarku sambil meminum teh anget yang sudah diberikan terlebih dahulu.
       "Mau nanya apa?" ujar Rama.
       "Lo pernah berpikir kalo bakal dijodohin gak?" ujarku asal.
       "Pernah, kenapa emangnya?" ujar Rama santai.
       "Terus lo mau?" ujarku kaget.
       "Tergantung gue suka gak sama ceweknya. Kenapa si?" ujar Rama.
       "Terus kalo lo disuruh langsung nikah?" ujarku keceplosan.
       "Hmmm, sebenernya si gue gak mau langsung nikah juga. Tapi kalo mendesak ya gimana lagi." ujar Rama santai.
       "Pertanyaan terakhir." ujarku. "Kita gak lagi dijodohin kan?" ujarku pelan.
       "Menurut lo?" ujar Rama serius. 
       "Feeling gue si gitu." ujarku asal.
       "Tenang aja lagian juga orang tua kita belum bilang apa-apa kan. Tapi kalo seandainya mereka nyuruh lo nikah sama gue gimana?" ujar Rama.
       "Hmm, gue...." ujarku tidak bisa melanjutkan ucapanku.
       "Ya seandainya emang mereka nyuruh gitu gue juga gak bakal maksa ko kalo lo nya belum siap. Lagian juga gue kan baru kerja. Jadi tenang aja." ujar Rama mengacak-acak rambutku. "Udah yuk makan." ujarnya lagi.
       Kami berdua pun menghabiskan makanan lalu bergegas pulang. Diperjalanan pulang sunyi menghampiri kami. Aku pun menyalakan radio. Alunan musik menemani perjalanan kami. Aku sedikit bersenandung sebelum akhirnya tertidur. Setelah sampai Rama membangunkanku. 
       "Nadia." ujarnya lembut.
       "Gue ketiduran ya." ujarku masih setengah sadar. Rama mengambil belanjaan yang berada di kursi belakang. Aku menghampirinya dan hendak membantunya. 
       "Nih kunci mobil aja." ujar Rama menyerahkan kunci mobilnya.
       Kami berdua memasuki rumah. Papah dan mamah sedang menonton tv di ruang keluarga. "Tante ini di taro mana ya?" ujar Rama ramah.
       "Ditaro sini aja dulu Ram. Makasih ya, tante jadi ngerepotin kamu." ujar mamah.
       "Iya gak apa-apa tante." ujar Rama tersenyum. "Kalo gitu saya ke kamar dulu ya tan, om saya ke kamar dulu." ujarnya pamit izin ke kamar.
       "Iya, makasih ya Ram udah jagain Nadia." ujar papah ramah. Rama tersenyum lalu pergi ke atas.
       "Mamah nih nitip kaya orang mau ngerampok aja." ujarku asal.
       "Mamah lupa belanja bulanan. Tadi siang kan masih ada kakak kamu jadi mamah gak enak ninggalinnya. Udah gitu kamu kan lagi diluar jadi sekalian aja." ujar mamah merapihkan belanjaan. Aku beranjak ke dapur hendak membuat coklat panas.
       "Kamu mau bikin coklat panas?" ujar mamah masih sibuk dengan belanjaannya.
       "Iya, mamah mau?" ujarku.
       "Gak, buat dua ya." ujar mamah santai.
       "Gak? tapi ko buat 2?" ujarku bingung.
       "Satu lagi buat Rama." ujar mamah masih merapihkan belanjaannya.
       "Iya." ujarku singkat. Aku membuat dua cangkir coklat panas dan membawanya bersamaku.
       "Mah pah aku ke kamar ya mau istirahat." ujarku lalu pergi ke atas.
       Pelan-pelan aku membawa dua cangkir yang berisi coklat panas itu. "Rama." ujarku ketika tiba didepan kamarnya. Namun tidak ada jawaban. Aku membuka pintu kamarnya. Suara air dari kamar mandi.
       "Hmm lagi mandi kayanya." ujarku. Aku meletakkan cangkir di atas meja. Suara air pun berhenti dan tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Rama bingung melihatku didalam kamarnya. Ia hanya mengenakan celana pendek dan handuk dilehernya. Aku terdiam sejenak. Jantungku tak bisa berhenti berdebar.
       "Lo gak salah kamarkan?" ujar Rama bingung.
       "Gak lah, gue masih inget ko kamar gue yang mana." ujarku salting.
       "Terus? Apa jangan-jangan lo mau tidur bareng gue?" godanya.
       "Rama." ujarku sebal. "Gue itu cuma mau ngasih coklat panas aja buat lo." lanjutku.
       "Terus?" ujarnya menggantung.
       "Terus apa?" ujarku bingung.
       "Lo masih mau disini? Apa masih mau ngobrol sama gue?" ujar Rama santai sambil memakai baju.
       "Gak itu aja. Gue mau tidur besok kuliah pagi." ujarku lalu kabur keluar kamar. Aku teringat akan jaket yang kukenakan. Aku membuka pintu kamar Rama kembali. Rama menatapku penuh arti.
       "Gue cuma mau balikin jaket ko. Thanks." ujarku memberikan jaket lalu hendak kembali.
       "Nadia." ujar Rama memanggilku. Aku tidak bisa menghentikan detak jantungku.
       "Apa?" ujarku pelan.
       "Kunci mobil?" ujar Rama.
       "Dikantong jaket." ujarku sebal.
       "Nadia." panggil Rama kembali.
       "Gue udah balikin semua apalagi?" ujarku sebal. 
       "Thanks yah." ujar Rama lembut.
       "Iyah." ujarku tersenyum. "Gue ke kamar dulu ya mau istirahat, lo juga jangan lupa istirahat." ujarku lagi. Rama hanya mengangguk dan tersenyum. Aku kembali ke kamarku dan beristirahat. Hari yang menyenangkan.

***

       "Nadia bangun udah jam 6." ujar mamah membangunkanku.
       "Hah?" ujarku kaget langsung bangun.
       "Mamah aku kan minta bangunin jam 5." ujarku berlari ke kamar mandi.
       "Udah sana cepetan mandinya jangan lama-lama." ujar mamah lalu keluar kamar.
       "Dasar itu anak kebiasaan banget kalo bangun kesiangan." ujar mamah heran.
       "Kenapa si mah pagi-pagi udah pada ribut aja." ujar papah mengambil roti di meja makan.
       "Itu pah, Nadia udah tau kuliah pagi mbo yo bangunnya pagi ini jam segini baru bangun." ujar mamah. Rama hanya tersenyum mendengarnya.
       "Udah udah, nanti juga kalo udah nikah berubah sendirinya." ujar papah dengan santai. Rama hanya diam.
       Aku menuruni tangga dengan buru-buru. Aku duduk dan minum segelas susu lalu buru-buru bergegas berangkat. "Mah pah aku berangkat ya?" ujarku pamit.
       "Iya hati-hati." ujar mamah.
       "Nad." Rama memanggilku.
       "Oh iya, Ram gue kuliah dulu ya." ujarku lupa kalo ada Rama disana.
       "Gue anter yuk. Tan om saya nganterin Nadia dulu ya." ujar Rama ramah. Papah dan mamah tersenyum senang. Aku hanya terdiam. 'Lumayan si hemat ongkos udah gitu lebih cepet juga dibanding nunggu busway.' batinku.
       "Eh lo mang gak kerja nganterin gue?" ujarku bingung.
       "Gue mulai kerja minggu depan. Jadi sekarang masih kosong." ujar Rama menyetir mobil.
       "Oh, ya gue si seneng-seneng aja kalo ada yang nganterin lumayan ngirit ongkos dan gak perlu nunggu busway yang lama." ujarku asal.
       "Dasar." ujar Rama sambil tersenyum.
       "Gue hari ini satu matkul doang ko, kalo lo mau ditemenin jalan gue bisa, ya asal mau nunggu aja." ujarku nyengir.
       "Iya gue tau ko. Tapi lo selesai kuliah jangan rumpi dulu. Gue gak suka nunggu loh." ujar Rama serius.
       "Iya tuan." ujarku sebal. Rama hanya tertawa. Kami sampai di kampusku tepat pukul 8. Rama memarkirkan mobilnya. "Gue ke kelas dulu lo jangan jauh-jauh kalo pergi ntar gue susah nyarinya." ujarku lalu buru-buru berlari menuju kelas. Rama hanya melihatku sambil tersenyum.
       "Nadia Nadia." ujarnya pelan.

***

       Dua jam aku mengikuti pelajaran. "Laper." ujarku seusai pelajaran berakhir.
       "Pasti lo kesiangan jadi belum makan." tebak Tiara.
       "Iya nih, tadi gue buru-buru untung gak telat." akuku jujur.
       "Kantin yuk gue juga belum makan." ajak Donna.
       "Yuk gue mau makan mie ayam." ujarku.
       Kami bertiga berjalan menuju kantin. Dari kejauhan aku melihat sosok ka Al disana. "Nad itu ka Al lagi ngobrol sama siapa?" ujar Tiara menunjuk seseorang yang ada didepan ka Al.
       Aku memperhatikan sambil berjalan mendekat. 'Bajunya kaya kenal.' batinku. Kami bertiga duduk tak jauh dari tempat mereka duduk namun aku masih belum bisa melihat wajah orang itu.
       "Rama." ujarku kaget saat ingat dengan baju tersebut. Rama menoleh dan melihatku. 
       "Bentar ya Al." ujarnya. Ia lalu menghampiri kami. 'Aduh gue kan udah janji mau langsung nemuin dia tapi gue malah langsung ke kantin.' batinku. Donna dan Tiara hanya terdiam terpaku melihat Rama.
       Rama hanya melihat kepadaku membuat aku menjadi bingung harus bicara apa. "Lo udah selesai?" ujar Rama datar.
       "Eh gue baru keluar kelas langsung ke sini ko. Bener deh." ujarku gugup.
       "Ok, lo makan aja dulu gue masih ada urusan sama temen." ujar Rama tersenyum lalu ia kembali ke tempat duduk semula.
       "Nad, itu siapa tadi?" ujar Donna penasaran.
       "Iya Nad siapa? ko lo gak cerita-cerita ke kita?" sambung Tiara.
       "Ih kalian ya kasih gue nafas dulu napa. Gue aja baru lepas dari amarahnya dia." ujarku sebal.
       "Maksudnya? gue ko bingung ya?" ujar Donna.
       "Intinya dia itu Rama anak temennya bokap gue, dan lagi tinggal di rumah gue selama di Jakarta." ujarku. "Udah ya gue mau mesen makanan laper." ujarku meninggalkan meja. Aku memesan mie ayam bakso dan es teh di konter makanan langgananku. Dari jauh kulihat Rama sedang ngobrol serius dengan ka Al. "Sejak kapan dia kenal ka Al?" ujarku pelan.
       "Nad, dia ko bisa kenal ka Al?" ujar Tiara saat aku kembali ke meja dengan membawa makanan yang kupesan.
       "Gue gak tau." ujarku cuek sambil makan mie ayam. "Mungkin temen lama, lagian kan bukan urusan kita, biarin aja." ujarku lagi.
       "Abis ini lo mau pergi dong Nad?" ujar Donna.
       "Iya gue udah ada janji soalnya." ujarku.
       "Yah padahal kita baru mau ngajak lo nonton di Cilandak." ujar Tiara.
       "Kalian mau nonton apa? ko baru bilang ke gue?" ujarku kaget.
       "Nonton hunger games." ujar Donna.
       "Hunger Games? Aduh gue lupa janjian sama ka Al hari ini." ujarku baru ingat janji dengan ka Al.
       "Ka Al? akhirnya kesempatan langka tuh lo kan udah lama banget pengen jalan berdua sama ka Al." ujar Tiara.
       "Iya si, tapi gue bilang ke Rama nya gimana?" ujarku bingung.
       "Kenapa lo gak nonton bertiga aja?" usul Donna.
       "Donna, Nadia itu maunya nonton berdua bukan bertiga." ujar Tiara sebal.
       "Tiara gue juga ngerti tapi daripada bingung mending dibarengin aja. Toh Nadia gak ingkar janji." ujar Donna ikutan sewot.
       "Stttt kalian jangan debat disini, gue gak enak jadinya." ujarku pelan.
       Aku buru-buru menghabiskan makananku. Takut Rama tiba-tiba ngajak cabut kan sayang makanan yang ia pesan. "Akhirnya kenyang juga." ujarku senang.
       "Aduh Nadia lo kaya udah gak makan setahun tau gak si." ujar Donna.
       "Nadia mah emang gitu kan kalo makan." ujar Tiara asal.
       "Ih lo berdua ya." ujarku menjitak mereka berdua.
       "Aw.. Nadia..." ujar mereka kompak. Rama menengok sedikit mendengar teriakan mereka berdua. Aku dapat melihat iya tertawa dari jauh.
       "Ih kalian gak usah pake teriak juga dong. Btw, gue balik duluan ya ntar tuan gue marah." ujarku asal lalu beranjak mendekati Rama.
       "Eh Nad hari ini kayanya kakak gak bisa nonton deh. Gak apa-apa kan?" ujar ka Al dengan nada bersalah.
       "Oh gak apa-apa ko ka. Lagian aku ada janji bawa ini orang jalan-jalan." ujarku asal.
       "Ok deh Al gue duluan ya." ujar Rama tersenyum.
       "Ayo." ujar Rama merangkulku.
       "Lo ngapain rangkul gue, semua orang jadi pada liatin." ujarku sebal.
       "Sengaja gue mau buat lo diintrogasi satu kampus." ujarnya asal. Aku pun mencubit pinggang Rama lalu kabur duluan ke mobilnya.
       "Aw.." ujar Rama mengelus pinggangnya.
       "Kenapa ka Al ngebatalin ya? dan gak bilang next time lagi. Udah gitu si Rama ya minta dijitak banget bikin malu aja." ujarku sebal. Kulihat Rama berjalan ke arahku.
       "Udah ngedumelnya?" ujar Rama santai.
       "Belum." ujarku sebal.
       "Udah yuk jalan." ujar Rama masuk ke dalam mobil. Aku masih berdiri terdiam diluar mobil. Rama membuka kaca jendela mobilnya.
       "Gue gak harus bukain pintu buat lo kan?" ujar Rama.
       "Hmmm, gue bisa sendiri." keluhku lalu masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan aku hanya diam dan memandang keluar jendela. Sunyi menyelimuti kami berdua.
       "Hmm, jadi lo ngambek karena gue ngerangkul lo?" ujar Rama membuka pembicaraan. Aku hanya diam tak memberi respon.
       "Atau karena batal jalan sama Al?" ujarnya lagi.
       "Hmmm, gak ko. Gue lagi gak mood aja." ujarku pelan. "Sorry tadi gue sempet lupa malah langsung ke kantin. Lo kan tau gue belum makan." ujarku lagi.
       "Iyah. Lagian gue juga gak mau kalo nanti lo sakit. Lain kali jangan makan mie terus." ujar Rama masih terfokus dengan jalan. Aku memandang heran kearah Rama. 
       "Ko lo tau gue makan mie? jangan-jangan lo suka merhatiin gue ya?" ujarku usil.
       "Ye pd, lo kan duduknya gak jauh dari gue. Makanya gue tau." ujar Rama.
       "Eh btw kita mau ke mana?" ujarku mulai mengalihkan pembicaraan.
       "Hmm.. Gue juga belum tau." ujar Rama masih berpikir.
       "Gimana kalo ke kotu atau monas? Kita bisa foto-foto sekalian jalan-jalan." ujarku.
       "Ok ok, kalo gitu kita ke monas baru ke kotu." ujar Rama menjalankan mobilnya menuju monas.
       Tepat pukul 12 kami sampai di monas. Siang sangat terik saat itu. Kami pun berjalan ke taman yang tak jauh dari tugu monas. Rama memotret beberapa view dengan SLR nya. "Ram duduk disana yuk." ujarku menoleh dan saat itu bunyi creck membuatku kaget. 
       "Ciye ketauan moto gue." ujarku asal.
       "Wuu pd." ujar Rama mengarahkan kameranya ke arah lain. Aku melihat ada pedagang harum manis. Aku menghampirinya dan membeli satu buah.
       "Nadia." ujar Rama memanggilku lalu creck ia mengambil gambarku. 
       "Ulang dong." ujarku.
       Kami pun berjalan sambil mengambil beberapa foto. "Foto berdua yuk." ujar Rama. Kami berfoto dengan beberapa gaya. Beberapa latar kami telah ambil. Setelah mengambil beberapa foto kami pun duduk di taman. Aku duduk sambil memakan harum manis yang kubeli.
       "Mau?" ujarku memberikan harum manis itu. Rama tanpa ragu langsung memakannya. Deg. hatiku berdetak kencang untuk kesekian kalinya.
       "Manis." ujar Rama tersenyum.
       "Iyap." ujarku. "Gue lebih seneng jalan-jalan kaya gini. Emang si panas tapi seru aja." ujarku tanpa mengalihkan perhatianku dari harum manis.
       "Emang lo gak takut item?" ujar Rama melihat kearahku.
       "Ya item tinggal item kan." ujarku santai.
       "Wuu dasar. Lo gak takut gak ada cowok yang suka sama lo?" ujar Rama.
       "Hmm, kalo gitu mereka cuma liat fisik doang. Lagian kalo gak ada yang mau kan masih ada lo." ujarku asal.
       "Emang gue mau sama lo?" ujar Rama memandangku serius.
       "Harus, lagian gue tinggal bilang om Satrio dan papah minta dinikahin sama lo." ujarku cuek.
       "Ngaco." ujar Rama mengacak-acak rambutku.
       "Rama." ujarku sebal. "Rambut gue entar berantakan, lagian kan gue bukan anak kecil lagi." ujarku lagi.
       "Emang lo udah gede?" ujar Rama dengan nada curiga.
       "Iya." ujarku yakin.
       "Berarti udah siap nikah dong." ujar Rama usil. Aku hanya diam. "Gue becanda ko." ujar Rama tersenyum lalu mengambil harum manis dari tanganku.
       "Wuu..." ujarku mencubitnya.
       "Aw, lo tuh ya suka banget si nyubit gue." ujar Rama mengelus pinggangnya.
       "Makanya jangan usil. Eh gue mau liat hasil foto yang tadi dong?" ujarku.
       "Nih ambil." ujar Rama memintaku mengambil sendiri. Aku memandangnya dengan curiga.
       "Nadia tangan gue lagi penuh jadi lo ngerti kan maksud gue?" ujar Rama menjelaskan.
       "Ahaha iya gue tau. Gue cuma iseng aja." ujarku mengambil kameranya.
       "Ih banyak foto gue, tuh kan lo boong." ujarku melihat beberapa foto saat kami baru tiba. Rama hanya mengangkat bahunya dengan santai.
       "Tapi bagus si, lucu-lucu." ujarku. Lalu aku mengambil fotoku sendiri. 'Kameranya bagus lumayan buat selfie.' batinku
       "Rama." ujarku memanggilnya dengan tangan siap mengambil foto kami berdua.
       "Udah jam 3 yuk cabut." ujar Rama mengajakku.
       "Mau kemana?" ujarku bingung.
       "Katanya mau ke kotu?" ujar Rama sambil berdiri.
       "Lo gak mau masuk monas?" ujarku melirik ke tugunya.
       "Nadia nanti kita kesorean." ujar Rama.
       "Yah, kotunya besok-besok aja. Yuk mumpung kita disini." ujarku menarik tangan Rama. Rama pun mengalah lalu ia mengikutiku. 
       "Lo kan orang Jakarta masa belum pernah masuk monas?" ujar Rama bingung.
       "Gue seringnya lewat doang. Lagian temen gue gak ada yang mau kalo di ajak." akuku jujur.
       Kami berdua memasuki tugu monas. Pemandangan sore kota jakarta memanjakan mata kami. Banyak foto bagus yang bisa kami ambil. Aku mengambil gambar pemandangan tersebut lalu mensharenya ke instagram.
       "Pemandangannya bagus ya." ujarku menoleh ke Rama. Rama pun tersenyum. 'Andai lo pacar gue' batinku.
       "Eh ko bengong? Antri naik ke atas yuk." ujar Rama.
       "Tapi..." ujarku berhenti. 
       "Udah gak apa-apa ada gue." ujar Rama mengandeng tanganku.
       Kami berdua mengantri di depan pintu masuk. Rama tidak melepaskan tangannya dariku. Aku bisa merasakan perasaan tenang saat dia menggenggam tanganku. "Lo takut ketinggian ya? ujar Rama ketika kami sampai di atas tugu.
       "Lo tau darimana?" ujarku heran.
       "Nebak aja." ujar Rama tersenyum. "Gak serem kan di sini?" ujarnya lembut. Aku hanya mengangguk. Ia melepaskan genggaman tangannya lalu mengambil beberapa foto.
       Pemandangan jakarta memang lebih indah dilihat dari atas. Aku senang Rama mengajakku naik ke atas puncak. Setelah waktu kami habis kami pun turun. "Makan yuk abis itu balik." ujar Rama saat kami tiba dibawah. Aku pun mengangguk. Kami berdua makan di pinggiran monas. Banyak pembicaraan yang kami bincangkan. Hari ini sangat menyenangkan.
      
***

       Keesokan harinya Rama mengantarku ke kampus. "Gue full hari selasa sampe jum'at, jadi gak bisa nemenin lo deh." ujarku ketika kami berdua di mobil.
       "Iya gak apa-apa lagian juga gue ada urusan diluar. Jadi sekalian aja nganterin lo, tapi kalo jemput gue gak janji ya takutnya ntar lo nunggu kelamaan." ujar Rama.
       "Iya gak apa-apa, udah dianterin juga gue udah seneng lumayan tinggal duduk manis aja." ujarku nyengir. Rama hanya tersenyum. Sampai di kampus Rama menurunkanku di halte depan kampus.
       "Gue langsung jalan ya, belajar yang bener." ujar Rama mengacak-acak rambutku.
       "Siap boss. Hati-hati ya." ujarku membuka pintu dan keluar. Aku berdiri hingga mobil Rama menghilang dan masuk ke kampus.
       "Hmm, kayanya lo lagi on time mulu ni. Pasti gara-gara dianterin Rama." ujar Donna melihatku masuk kelas.
       "Ye gue kan emang selalu ontime kali." ujarku sebal. "Tapi on time nya bareng sama dosen masuk." ujarku sambil nyengir.
       "Wuu dasar." ujar Donna.
       Hari ini kuliahku sangat padat. Aku keluar kelas jam 4 dan langsung buru-buru pulang kerumah. "Kalo gak buru-buru pasti macet." keluhku saat menunggu busway di halte. Benar saja yang aku pikirkan. Aku sampai di rumah jam 6. 
       "Mah aku pulang." ujarku berjalan lemas sambil membawa beberapa buku ditanganku. Aku langsung duduk di ruang keluarga.
       "Macet sayang?" ujar mamah menghampiriku.
       "Iya mah, udah gitu buswaynya penuh terus." ujarku.
       "Pantesan aja, tadi Rama telepon mamah katanya bakal pulang telat." ujar mamah. 
       “Ohhhh." ujarku singkat. "Papah udah pulang mah?" ujarku lagi.
       "Udah baru sampe sekarang lagi di kamar. Yaudah kamu mandi gih sana biar fresh." ujar mamah membelai lembut rambutku.
       "Ok deh mah, aku ke kamar dulu ya." ujarku.
       Setelah masuk kamar aku langsung mandi dan mengganti pakaian. "Si Rama ternyata punya banyak kenalan di Jakarta tapi ko nginepnya disini." ujarku pelan. Aku pun turun ke bawah untuk makan bersama mamah dan papah.
       "Mah pah, aku ke atas ya mau ngerjain tugas dulu." ujarku setelah selesai makan.
       Aku naik kembali ke atas. Kuambil laptop dan buku yang sempat aku pinjam di perpus. Aku mengerjakan tugas di depan TV sekalian mau nonton TV. Aku mulai mengerjakan makalah yang akan menjadi tugas individu minggu depan. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 8. 
       "Kemana ni anak belum pulang juga." ujarku masih sibuk mengetik makalah. 
       Rumah terasa sepi. Hanya suara TV yang menemaniku. Papah dan mamah sudah masuk ke dalam kamarnya. "Untung di rumah ada satpam jadi tu anak bisa masuk." ujarku.
       "Eh ko gue jadi mikirin si Rama. Kan gue mau ngerjain makalah." ujarku kembali fokus dengan tugas.
       Satu jam aku mengetik dan aku mulai merasa lelah. Aku membaringkan kepalaku sejenak diatas tangan untuk beristirahat sejenak namun ternyata aku malah tertidur. Suara mobil terdengar memasuki rumah. Pak Amin membukakan pintu gerbang.
       Rama memasuki rumah dan tidak ada seorang pun disana. "Kayanya udah pada tidur." ujar Rama sambil melihat jam yang menunjukkan pukul setengah 10. Ia pun langsung pergi menuju kamarnya. Suara TV masih terdengar dari atas.
       Rama berjalan mendekati asal suara tersebut. Ia menghampiriku yang tengah tertidur. "Nadia Nadia." ujarnya pelan.
       Rama pun duduk dan memperhatikanku. Merasa ada seseorang di dekatku dengan setengah sadar aku pun bangun. "Hoamb." ujarku bangun. "Lo udah balik?" ujarku melihat Rama duduk di sofa.
       "Baru aja, tadinya gue mau bangunin lo eh lo nya udah bangun duluan." ujar Rama santai.
       "Gue ketiduran tadi. Lagian gue nunggu lo balik dulu baru pindah ke kamar." ujarku mengucek mataku yang masih mengantuk. Rama hanya terdiam.
       "Gue mau istirahat dulu ya." ujar Rama beranjak memasuki kamarnya.
       "Kesambet apaan tu anak jadi kalem gitu." ujarku setelah Rama masuk kamar. Aku pun membereskan buku dan laptop serta mematikan TV lalu pergi ke kamar.

***

       Selama 2 hari kegiatan yang sama terus berlangsung. Tidak banyak yang aku bicarakan dengan Rama bahkan aku hanya bertemu dengannya saat pagi hari dia mengantarku. "Eh lo kenapa pagi-pagi diem aja." ujar Tiara mengagetkan aku yang lagi melamun di kelas.
       "Eh lo Ti, gak gue lagi bosen aja." ujarku asal.
       "Eh berita penting." ujar Donna berlari menghampiri kami berdua.
       "Kenapa Don? Pangeran Williams dateng ke sini?" ujarku asal.
       "Ih ngaco." ujar Tiara.
       "Tau, lo kebanyakan ngayal nih. Bu Merry hari ini gak masuk jadi kita bisa pulang cepet. Anak-anak yang lain jug udah pada pulang." ujar Donna.
       "Wah asik dong, gue mau jalan sama cowok gue soalnya." ujar Tiara senang.
       "Lo mau malem sabtuan sama cowok lo? nanggung amat." ujar Donna.
       "Biarin aja, makanya punya pacar biar gak syirik." ujar Tiara meledek Donna. Donna hanya manyun aja.
       "Eh gue mau ke toilet dulu ya." ujarku meninggalkan mereka berdua yang tengah berantem.
       "Rama jadi aneh akhir-akhir ini." ujarku pelan sambil mencuci muka. Setelah selesai mencuci muka aku berjalan kembali menuju kelas. Tak sengaja aku bertemu dengan ka Al sedang berdiri di depan kelas sendiri. "Ka Al sendirian aja." ujarku menghampirinya.
       "Iya nih, kakak lagi nunggu Andre mau ngasih file ini ke dia. Orangnya di dalem bentar lagi selesai kuliah." ujarnya menjelaskan.
       "Oh gitu." ujarku.
       "Kamu ko malah jalan-jalan? emang gak ada kelas?" ujarnya.
       "Gak ada, bu Merry gak masuk. Ini aku mau balik." ujarku.
       "Eh iya, nonton yuk. Kan kemarin kita batal nonton." ujar ka Al.
       "Boleh." ujarku tersenyum. "Aku ambil tas dulu ya kak. Ntar ketemu di lobby aja." ujarku lagi.
       Aku pun berjalan kembali ke kelas. "Nad lo mau kemana abis ini? main yuk." ujar Donna mengajakku.
       "Yah Don, gue mau nonton sama ka Al. Apa lo mau ikut?" ujarku nyengir.
       "Gak mau ah ntar gue jadi obat nyamuk doang lagi." ujar Donna ngambek.
       "Yah Don jangan ngambek dong." ujarku membujuknya.
       "Iya Don lagian kan si Nadia udah lama mau jalan sama ka Al masa lo tega si." ujar Tiara membantuku.
       "Wuu kalian berdua sama aja." ujar Donna sebal. Aku dan Tiara hanya terdiam. Melihat kami diam Donna malah cekikikan sendiri.
       "Ko lo ketawa si Don?" ujar Tiara bingung.
       "Gue tuh becanda lagi, lagian gue tau hari ini si Tiara mau pergi jadi gue isengin aja. Eh ternyata lo juga. Lagian gue ada kumpul PSM ntar sore jadi gak apa-apa." ujar Donna nyengir.
       "Ih dasar." ujarku menjitak Donna.
       "Nadia." ujar Donna sebal. "Gue duluan ya takut ka Al nungguin." ujarku kabur sebelum Donna ngebales nyubit.
       Aku berjalan menuju lobby. Disana aku melihat ka Al sudah menunggu. "Ka Al." ujarku menghampirinya. " Sorry lama tadi harus sungkeman dulu sama kanjeng Donna." ujarku asal.
       "Sungkeman? ada-ada kamu. Yuk jalan." ujar ka Al. Kami berjalan menuju parkiran kampus. Kami berdua pergi dengan naik motor ninja ka Al.

*** 

       Aku dan ka Al berjalan memasuki XXI. Ka Al pergi untuk mengantri tiket dan aku pergi untuk membeli pop corn. Dari kejauhan aku melihat seseorang. "Ko kayanya bajunya gue kenal." ujarku pelan.
       Aku duduk menunggu ka Al. Kedua tanganku sudah penuh dengan pop corn dan soda. Aku terus memperhatikan sosok yang menarik perhatianku. "Hmm mukanya gak keliatan." ujarku.
       Seorang cowok bersama wanita yang sangat cantik bahkan seperti model. "Hei lo ngapain Nad ko malah bengong?" ujar ka Al mengagetkanku.
       "Eh gak ko ka. Tunggu di depan studio yuk." ujarku sambil memberikan ka Al segelas soda.
       Kami berdua duduk didepan studio 5. Saat sedang mengobrol cewek cantik yang aku lihat berjalan sendiri ke arah kami. "Dinda." ujar ka Al kaget melihat cewek itu.
       "Al." ujar cewek itu tersenyum menghampiri kami. 
       "Ka aku ke toilet bentar ya." ujarku meletakkan pop corn dan soda di kursi.
       "Sipp." ujar ka Al tersenyum.
       Mereka berdua mengobrol bersama seperti sudah kenal lama. "Mungkin cewek itu temen lamanya ka Al, tapi cowok yang sama cewek itu siapa ya? bajunya kaya kenal." ujarku pelan saat berkaca di cermin.
       Aku berjalan kembali menuju depan studio. Disana cowok yang bajunya ku kenal sudah ada disana namun dia berdiri membelakangiku. Pintu studio sudah terbuka.
       Aku menghampiri mereka. "Kak masuk yuk." ujarku mengajak ka Al masuk. Saat aku berbicara cowok itu menoleh. 'Rama' batinku. Rama terdiam melihatku.
       "Yuk masuk. Duluan ya." ujar ka Al mengajakku masuk.
       Aku dan ka Al sudah duduk di dalam studio. Aku melihat dari jauh Rama duduk bersama Dinda. Mereka duduk tak jauh dari tempat kami berdua. Dinda terus bersandar kepada Rama. 
       "Heh dari tadi ngeliatin orang aja." ujar ka Al mengagetkanku.
       "Eh gak ko ka." ujarku nyengir.
       "Eh btw kamu bukannya deket sama Rama ya? ko tadi diem-dieman?" ujar ka Al bingung.
       "Gak deket kak biasa aja. Ko kakak bisa kenal sama Rama?" ujarku.
       "Rama itu pacarnya temen kakak." ujar ka Al. Aku terdiam mendengar ucapan ka Al.
       "Itu pacarnya Rama ka?" ujarku dengan hati-hati.
       "Iya. Eh filmnya udah mau mulai nih." ujar ka Al menperhatikan film tersebut. Dari tempatnya Rama melihatku, ia bingung harus bicara apa.
       Film yang hampir memakan waktu dua setengah jam itu pun berakhir. "Filmnya seru ya." ujar ka Al saat filmnya berakhir.
       "Iya ka, tapi sayang masih bersambung." ujarku sambil berjalan disebelah ka Al. Kami berdua melewati tempat duduk Rama yang baru hendak berdiri. Aku tersenyum saat ia melihatku.
       "Nanti part 2 nonton lagi yuk ka." ujarku berjalan melewati mereka.
       "Boleh boleh." ujar ka Al.
       "Al." ujar Dinda memanggil ka Al.
       "Kenapa Din?" ujar ka Al.
       "Gue sama Rama mau makan nih. Ikut yuk." ujarnya ramah.
       "Boleh, yuk Nad makan dulu abis makan kita pulang."
       "Iya ka." ujarku singkat. Dinda dan ka Al berjalan sambil mengobrol. Sepertinya Dinda adalah teman dekat ka Al. Aku berjalan tepat di samping Rama. 
       "Lo gak kuliah?" ujar Rama membuka pembicaraan.
       "Kuliah ko, tadi dosennya gak masuk terus ka Al ngajak nonton deh." ujarku. Diam menyelimuti kami berdua. Kami berempat makan bersama. Ka Al dan Dinda yang lebih banyak bicara. Aku hanya tersenyum dan Rama diam selama kami makan. Setelah selesai makan kami pun berpisah.
       "Ka aku mau ke gramed dulu. Kalo kakak mau balik duluan gak apa-apa." ujarku.
       "Yaudah sekalian aja. Kakak juga lagi mau liat-liat buku." ujar ka Al.
       Setelah mendapat buku yang aku cari. ka Al pun mengantarkanku pulang. Aku melihat mobil Rama sudah berada di garasi. Setelah mengantarku ka Al pun pamit. Entah kenapa perasaanku hari ini gak enak. Aku memang senang bisa jalan bareng ka Al tapi melihat Rama dengan cewek lain membuatku sedih.
       Aku memasuki rumah dan ternyata sepi. "Kayanya udah pada tidur." ujarku. Aku berjalan menuju dapur. "Kayanya minum coklat panas enak." ujarku sambil menyeduh secangkir coklat panas.
       Rama menghampiriku di dapur. "Lo belum tidur?" ujarku sambil tersenyum.
       "Belum, lo ko baru pulang?" ujar Rama.
       "Oh tadi gue ke gramed. Pas nyari-nyari buku malah kemaleman." ujarku sambil menuangkan air panas ke cangkir. Rama hanya diam.
       "Mau coklat panas?" ujarku menawarkannya. Rama hanya mengangguk. Aku pun membuatkan satu coklat panas untuknya.
       "Nih, gue ke atas dulu ya." ujarku memberikan secangkir coklat panas kepada Rama lalu membawa satu cangkir ke atas bersamaku. 
       "Nad gue mau ngomong." ujar Rama saat aku hendak menaiki tangga.
       "Besok aja ya Ram, gue mau istirahat." ujarku tersenyum. Rama hanya mengangguk pelan. Lalu aku pun masuk ke dalam kamar.
       "Kenapa gue jadi marah ke dia?" ujarku sambil merebahkan badanku di atas ranjang. Aku kemudian bangun ganti baju lalu minum coklat panas kemudian pergi tidur.

***

       "Nadia." ujar mamah membangunkanku.
       "Hari ini aku libur mah gak ke kampus." ujarku menarik selimut.
       "Nadia bangun." ujar mamah. Dengan malas aku membuka mata.
       "Mamah sama papah mau pergi ke Bekasi. Kalo kemaleman mamah sama papah nginep di rumah om Pras. Kamu gak apa-apa kan mamah tinggal?" ujar mamah.
       "Ke Bekasi?" ujarku langsung melek.
       "Iya, papah ada acara kantor disana." ujar mamah.
       "Ko aku gak diajak?" ujarku sebal.
       "Kalo kamu ikut nanti Rama gak ada temen di rumah." ujar mamah. Aku hanya manyun aja. Aku mengikuti mamah keluar kamar.
       "Oh iya Bibik hari ini sama besok gak bisa ke sini anaknya sakit. Jadi kalo kamu mau makan ada naget di kulkas. Kalo kamu mau makan di luar ajak Rama sekalian. Rama masih tidur di kamar nanti kamu ingetin dia sarapan ya." ujar mamah panjang lebar.
       "Iya mah iya. Yaudah mamah hati-hati ya di jalan." ujarku mengantarkan mamah sampai depan rumah.
       Aku pun salim kepada papah dan mamah sebelum mereka berangkat. Mang ujang sudah siap mengantar mereka berdua. Aku berdiri di depan melihat mereka pergi. Lalu aku kembali ke kamar, mandi dan ganti baju.

***

       Aku sedang didapur menyiapkan sarapan. Aku mengiris cabe dan bawang untuk membuat nasi goreng. Dari jauh kulihat Rama menghampiriku. "Lo udah bangun?" ujarku sambil tersenyum. Rama pun mengangguk. Kulihat dari wajahnya sepertinya semalem ia tidak bisa tidur.
       "Tante sama om mana?" ujarnya pelan.
       "Mamah sama papah pergi ke Bekasi katanya si ada acara kantor." ujarku santai. Rama duduk di meja makan. Aku sudah mulai memasak nasi goreng. Rama hanya diam menungguku.
       Setelah matang aku meletakkan nasi goreng tersebut di atas piring. Lalu meletakannya di meja makan. "Bentar ya gue mau bikin teh." ujarku mengambil dua cangkir dan membuat dua gelas teh manis hangat.
       "Nad." ujar Rama dengan nada berat.
       "Gue gak naro seafood ko di nasi gorengnya." ujarku.
       "Iya gue tau ko. Thanks yah." ujarnya tersenyum.
       "Iya, lagian ntar gue diomelin nyokap lagi ngeracunin makanan lo." ujarku asal. Rama masih diam belum menyentuh makanannya.
       "Nad gue mau ngomong." ujar Rama pelan.
       "Iya, tapi ngomongnya abis makan aja ya." ujarku tersenyum lalu Rama mengangguk lemah. Kami berdua makan dalam diam. Setelah makan aku pun mencuci piring. Rama berjalan menuju halaman belakang dan duduk di pinggir kolam. Ia menungguku. Setelah selesai mencuci piring aku pun menghampirinya. Aku duduk disampingnya. Diam menyelimuti kami berdua. Aku menunggu Rama berbicara namun ia hanya diam saja.
       "Kemarin cewek lo?" ujarku pelan. Rama hanya diam.
       "Hmm, dia cantik ya." ujarku lagi. Rama pun masih belum merespon. Aku menunggu hingga Rama angkat bicara.
       "Gue gak tau gimana hubungan gue sama Dinda." ujar Rama memulai pembicaraan.
       "Bukannya dia cewek lo?" ujarku tanpa menoleh kearahnya.
       "Sebelum gue ke Jakarta kita udah ada masalah dan kita putus." ujar Rama lirih.
       "Terus?" ujarku singkat.
       "Bokap minta gue kerja di perusahaannya yang di Jakarta. Dan bokap bilang gue bisa tinggal di rumah temennya. Awalnya gue ngerasa aneh kenapa bokap nyuruh gue tinggal di sini bukan di kemang." ujar Rama. Aku hanya diam mendengarkan.
       "Gue tau orang tua gue emang gak setuju gue pacaran sama Dinda. Nyokap pernah liat Dinda sama cowok lain waktu lagi ke jakarta. Gue LDR sama Dinda mungkin itu yang buat dia diem-diem selingkuh dibelakang gue." ujar Rama melanjutkan ceritanya.
       "Kalo dia emang cinta sama lo gak seharusnya dia selingkuh gitu, menurut gue kalo lo gak bisa bertahan karena alesan jarak berarti bukan cinta namanya." ujarku tanpa menoleh ke Rama. 
       "Emang lo udah pernah jatuh cinta?" ujar Rama melirik ke arahku.
       "Hmm, gue juga gak tau dan belum terlalu ngerti sama yang namanya cinta. Kalo menurut gue ya cinta itu harus tulus. Hmm, tapi kalo menurut lo Dinda emang cuma khilaf kemarin ya itu balik lagi ke lo. Biarin hati lo yang nentuin siapa yang terbaik buat lo." ujarku tersenyum.
       "Iya, lo bener." ujar Rama tersenyum. "Btw gimana hubungan lo sama Al?" ujar Rama mengagetkanku.
       "Biasa aja cuma sebates senior dan junior." ujarku santai.
       "Yakin? tapi kemarin kecewa banget waktu gak jadi jalan." ujar Rama curiga.
       "Iya emang gitu ko. Gue emang udah suka sama ka Al dari pertama masuk kuliah dan hubungan kita gitu-gitu aja. Mungkin ka Al bukan jodoh gue." ujarku. Rama memegang pundakku.
       "Gue gak segalau itu lagi." ujarku tersenyum. "Sekarang gue cuma mau semua berjalan mengalir aja. Jodoh pasti bertemu kan." ujarku lagi.
       "Iya lo bener." ujar Rama tersenyum.
       "Akhirnya." ujarku lega.
       "Kenapa Nad?" ujar Rama bingung.
       "Akhurnya lo udah balik lagi seperti semula. Rada gak nyaman juga si diem-dieman kaya kemaren." ujarku tersenyum.
       "Thanks ya Nad buat semuanya." ujar Rama tersenyum.
       "Iya." ujarku mengangguk. Kami berdua pun sudah kembali seperti biasa. Tapi ada suatu perasaan kehilangan yang aku rasakan saat ini. Aku segera mengelaknya. "Ram lo belum mandi kan?" ujarku tersenyum lalu mendorongnya ke kolam.
       "Nadia." ujarnya sebal. Aku hanya tertawa. Ia berenang menghampiriku.
       "Sorry." ujarku tersenyum. Rama mengulurkan tangannya kepadaku.
       "Bantuin gue naik." ujar Rama.
       "Gak mau, ntar lo narik gue ke sana. Gue udah mandi lagian gue..." belum sempat aku melanjutkan ucapanku Rama sudah menarik tanganku. Dan aku jatuh ke kolam. Aku jatuh ke dalam pelukan Rama. Diam menghampiri kami sejenak.
       "Rama." ujarku sebal. Rama hanya mengangkat kedua bahunya.
       "Gue gak bisa renang." ujarku terus memegang tangannya. Rama tertawa melihatku.
       "Lo gak bisa renang?" ujar Rama tertawa.
       "Ihhh.." ujarku melepaskan tangannya dan berjalan menuju tangga. Namun aku terjatuh karena terburu-buru. Aku hampir tenggelam tapi dengan cepat Rama menangkapku dan membawaku ke tepi kolam.
       "Lo gak apa-apa Nad?" ujar Rama khawatir. Aku hanya diam membisu.
       "Sorry, gue gak tau. Lagian lo juga si iseng nyeburin gue duluan." ujar Rama kesal. Aku tetap diam.
       "Maaf." ujar Rama pelan. Aku mulai tak tahan menahan tawa. Akhirnya tawaku pun lepas.
       "Lo boong?" ujarnya sebal. Aku hanya nyengir. Rama marah dan berjalan menuju tangga kolam.
       "Rama." ujarku menarik tangannya. Dia hanya diam dan tak menoleh ke arahku.
       "Sorry." ujarku menyesal. Rama menghela nafasnya dan menoleh kepadaku.
       "Lain kali jangan gitu lagi. Gue gak mau lo kenapa-kenapa." ujar Rama mengelus rambutku dengan lembut. Aku pun hanya mengangguk pelan.
       "Hasyimm." Suara bersin Rama mengagetkanku. Kami berdua pun segera keluar dari kolam dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian.

***

       "Rama." ujarku sambil mengetok pintu kamarnya. Tak ada jawaban dari dalam kamar. Perlahan aku membuka pintu kamar tersebut.
       "Ram." ujarku pelan. Aku berjalan memasuki kamar tersebut. Kulihat Rama sedang tertidur dan wajahnya sedikit pucat. Aku menghampirinya.
       "Panas." ujarku memegang keningnya. Aku pun langsung mengambil air hangat untuk mengompresnya.
       "Sorry." ujarku pelan. Aku membenarkan selimutnya. Aku menunggunya sadar hingga tertidur.
       Rama terbangun dengan setengah sadar ia melihat Nadia tertidur. Ia memegang dan melepaskan kompresnya. Kondisinya sudah jauh lebih baik. Rama bangun dan mengangkat Nadia ke tempat tidur. "Thanks." ujar Rama tersenyum. Rama pun menuju sofa yang tak jauh dari ranjangnya. Dari jauh ia melihat Nadia yang tertidur. Entah perasaan apa yang menyelimutinya saat ini. Sekarang yang menjadi prioritasnya hanyalah Dinda tapi ia mulai merasakan perasaan yang berbeda terhadap Nadia.

***

       "Hoammm." ujarku terbangun. Aku membuka mata masih dengan setengah sadar. "Perasaan ini bukan kamar gue." ujarku sambil menggaruk kepala. Aku menoleh ke arah lain. Kulihat Rama tengah tertidur.
       "Gue kan lagi ngerawat Rama, kenapa jadi gue yang tidur di sini?" ujarku mulai sadar. Tak lama Rama pun terbangun. "Lo udah bangun?" ujarnya sambil memposisikan diri untuk duduk.
       "Ko lo tidur di sofa?" ujarku masih tidak mengerti apa yang terjadi.
       "Hmm, abisnya lo tidur pules banget. Jadi gue pindahin aja ke ranjang." ujar Rama santai. "Cari makan yuk, gue laper." ujar Rama lagi.
       "Emang sekarang jam berapa?" ujarku melihat jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Aku pun langsung bangun dan berlari keluar kamar. "Eh kita mau cari makan kemana?" ujarku kembali membuka pintu dan hanya menampakkan wajah saja.
       "Udah sana buruan mandi." ujar Rama dengan cuek. Aku bingung dan hanya bisa menganggkat kedua tanganku.
       Tak lama setelah aku keluar dari kamarnya suara handphonenya berbunyi. "Hallo Din." ujar Rama menganggkat teleponnya.
       "Hallo, sayang kamu kemana aja si? aku nungguin kamu daritadi. Kita jadi jalan kan?" ujar Dinda dengan manja.
       "Aku lagi gak enak badan Din. Besok aja ya kita jalannya. Lagian Nadia dirumah sendirian." ujar Rama menjelaskan.
       "Yaudah kalo gitu. Besok kamu jemput aku ya." ujar Dinda dengan lembut lalu menutup teleponnya.
       "Ajak Satria jalan aja deh." ujar Dinda setelah mengakhiri teleponnya dengan Rama.
       Rama terdiam setelah menutup teleponnya. Ia tak mengerti dengan yang ia rasakan saat ini. "Pacar gue Dinda, dan gue gak boleh punya perasaan ke Nadia." ujar Rama meyakinkan dirinya.

***

       "Gue aja yang bawa." ujarku mengambil kunci mobil dari tangan Rama.
       "Lo lagi gak becanda kan?" ujar Rama bingung.
       "Ye ngapain becanda. Lo kan lagi sakit jadi gak boleh cape." ujarku sambil nyengir.
       "Nad, gue lebih sayang nyawa gue kayanya daripada kesehatan gue." ujar Rama dengan nada ragu.
       "Udah percaya aja sama gue. Kalo nanti lo masih ragu pulangnya lo yang bawa gimana?" ujarku meyakinkan. Dengan berat hati Rama hanya mengangguk pelan. Raut wajah Rama masih terlihat gugup. Aku hanya tersenyum menahan tawa. "Kenapa lo ketawa?" ujarnya jutek.  
       "Gak apa-apa lucu aja." ujarku masih memperhatikan jalan.
       "Gue mau nanya serius sama lo. Lo udah punya SIM kan?" ujar Rama serius.
       "Emang harus punya? Kan yang penting gue bisa bawa." ujarku asal.
       "Hah? udah minggir di depan gue yang bawa." ujar Rama sebal. Aku pun meminggirkan mobil ke tepi jalan yang sedikit sepi. "Lo parno banget si." ujarku sebal.
       "Lo gak punya SIM tapi berani bawa mobil. Lo gak takut di tilang apa?" ujar Rama.
       "Rama gue cuma becanda kali. Lagian kalo gue gak punya SIM gue gak mungkin berani bawa mobil. Gue kan cuma mau ngerjain lo. Eh ternyata lo orangnya parnoan." ujarku tertawa. Rama hanya diam.
       "Ram jangan ngambek dong." ujarku membujuknya. Rama masih diam tak menjawabku.
       "Maaf, gue cuma becanda ko. Nanti gue yang traktir deh." ujarku memohon.
       "Hmm, gue gak marah ko cuma kesel aja." ujar Rama jutek.
       "Iya iya, gue gak gitu lagi deh. Sekarang lo udah percaya kan kalo gue bisa." ujarku tersenyum.
       "Iya, udah buruan gue laper." ujarnya jutek.
       "Siap boss." ujarku nyengir. Perjalanan satu jam kami tempuh. Aku merasa sedikit letih. Kakiku pegal karena jalanan yang macet. Kami berhenti ke sebuah mall di jakarta. 
       "Lo mau ngajak makan apa main si?" ujar Rama heran.
       "Makan, tapi gue mau ke gramed juga soalnya." ujarku nyengir.
       "Dasar." ujar Rama tersenyum.
       Kami berdua berjalan ke sebuah tempat makan. Kami duduk dan memesan makanan. "Nad gue keluar bentar." ujar Rama tiba-tiba bergegas pergi. Aku hanya diam terpaku. "Kenapa tuh anak?" ujarku bingung. Tak lama ia pun kembali. "Lo kenapa Ram?" tanyaku bingung.
       "Eh gak apa-apa." ujar Rama. Tak lama makanan kami pun datang. Kami berbincang banyak hal. Setelah selesai makan kami pun beranjak menuju gramed. Kami berdua berjalan melewati beberapa toko. Aku tak sengaja melihat Dinda tengah mengandeng seorang cowok. "Ram ke sini dulu yuk gue mau liat-liat." ujarku menarik Rama agar tak bertemu Dinda. Rama pun mengikutiku.
       "Ram, lo gak mau nyari sesuatu gitu sekalian." ujarku sambil melihat-lihat pernak pernik yang lucu.
       "Lo gak nyuruh gue beli ini kan." ujar Rama menunjuk make up yang ada disana. Aku pun tertawa.
       "Gak lah, tapi kayanya lo mau deh. Nanti kalo lo ulang tahun gue kadoin ini." ujarku asal. 
       "Dasar." ujar Rama mengacak-acak rambutku. Setelah melihat-lihat dan membeli beberapa pernak pernik kami berdua pun pergi. "Lo suka assesoris?" ujar Rama.
       "Gak juga." ujarku.          
       "Itu lo beli." ujar Rama menunjuk belanjaanku.
       "Daripada nyolong hayo." ujarku asal.  Kami berdua pun memasuki gramed. Aku berjalan menelusuri buku-buku yang ada disana. Aku mencari buku Statistik. "Ini dia." ujarku melihat buku yang aku cari. Aku pun menghampiri Rama. Rama tengah melihat-lihat buku IT dekat dengan kaca. Aku melihat Dinda tak jauh dari tempat Rama berdiri.
       "Rama." ujarku memanggilnya. Rama pun menoleh. Ia menghampiriku. 
       "Untung Rama gak sempet liat." ujarku pelan.
       "Udah selesai?" ujar Rama menghampiriku.
       "Udah, yuk balik." ujarku tersenyum. Kami berdua berjalan menuju parkiran mobil.
       "Gue aja yang bawa." ujar Rama masuk duluan ke dalam mobil. Aku mengikuti apa yang dikatakannya dan masuk ke dalam mobil.
       "Hmm, masih parno ni." ujarku memakai sabuk pengaman.
       "Iya, ntar lo ketiduran lagi pas bawa mobil." ujar Rama asal.
       "Rama." ujarku sebal mencubit tangannya.
       ""Aww.. Lo tuh ya Nad suka banget nyiksa orang." ujar Rama sebal.
       "Biarin." ujarku menjulurkan lidah keluar.
       "Dasar." ujar Rama mengacak-acak rambutku. Perjalanan pulang kami diisi dengan banyak canda. Semakin lama aku semakin merasa dekat dengan Rama. Jalan ibu kota yang sudah mulai sepi membuat perjalanan kami menjadi lancar tanpa hambatan.

***

       Sudah sebulan setelah Rama masuk kerja. Tak banyak yang kami bicarakan. Setiap pagi sembari berangkat kerja, Rama selalu mengantarku ke kampus. Memang kantornya searah dengan kampusku.   Tetapi setiap weekend dia selalu pergi bersama Dinda. Hari itu tiba-tiba om Satrio dan istrinya datang ke rumah. Suasana saat itu begitu dingin. Rama pun diam seribu bahasa. Aku tak terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Mereka berbicara di dalam kamar Rama.
       "Kamu balikan lagi sama Dinda?" ujar om Satrio marah. Rama hanya diam.
       "Papah nyuruh kamu dateng ke jakarta bukan untuk balikan sama Dinda. Papah udah setuju sama om Rudy bakal jodohin kamu sama Nadia. Kamu jangan bikin papah malu." ujar om Satrio dengan nada tinggi.
       "Pah, kenapa si papah gak pernah dengerin omongan Rama? sesuatu yang dipaksa gak akan bagus pah hasilnya." ujar Rama mulai angkat bicara.
       "Ini semua demi kebaikan kamu. Pokoknya papah bakal nikahin kamu sama Nadia secepatnya." ujar om Satrio mulai naik darah.
       "Sabar mas." ujar tante Ani mamahnya Rama.
       "Rama gak akan pernah setuju." ujar Rama serius. Om Satrio mulai memegang kepalanya yang sakit. "Mas." ujar tante Ani memegang om Satrio yang pingsan saat itu. Rama dan tante Ani segera mengantar om Satrio ke rumah sakit terdekat. Papah dan mamah turut ikut serta. Aku tetap di rumah menjaga rumah. Kulihat dari aura keluarga om Satrio terjadi masalah yang cukup serius. Aku hanya bisa menunggu kabar dari papah dan mamah.

***

       Rama yang merasa bersalah hanya terdiam menunggu diluar kamar rumah sakit. Papah dan mamah menjaga om Satrio di dalam kamar. "Rama." ujar tante Ani lembut.         
       "Papah gimana mah keadaannya?" ujar Rama cemas.
       "Kata dokter darah tingginya kumat. Papah gak apa-apa ko. Kata dokter papah gak boleh stres dan butuh istirahat beberapa hari di rumah sakit." ujar tante Ani mencoba tersenyum. Rama hanya terdiam.
       "Mamah mau minta tolong sama kamu. Untuk kali ini kamu ikutin kemauan papah ya." ujar mamah dengan nada serius.
       "Tapi mah.." ujar Rama lemas.
       "Mamah mohon sekali ini aja." ujar tante Ani dengan wajah sedih.
       "Iya mah." ujar Rama dengan lesu.
       "Makasih yah sayang. Sekarang kamu masuk liat papah dulu." ujar mamah tersenyum.

***

       Papah, mamah, dan Rama sampai di rumah pukul 9 malam. "Om tante, Rama ke kamar dulu ya." ujar Rama.
       "Iya, kamu istirahat aja, besok kan kerja pagi." ujar mamah lembut. Rama naik ke kamarnya. Aku melihat Rama yang hanya diam seribu bahasa. Aku pun menghampiri papah dan mamah yang duduk di ruang keluarga. "Om Satrio gimana mah keadaannya?" ujarku khawatir.
       "Gak apa-apa ko, cuma butuh istirahat aja. Lusa juga udah boleh pulang." ujar mamah membelai rambutku.
       "Syukur deh mah kalo gitu." ujarku tersenyum.
       "Nadia papah mau ngomong serius sama kamu." ujar papah dengan wajah serius.
       "Kenapa pah?" ujarku bingung.
       "Minggu depan papah sama om Satrio setuju buat nikahin kamu sama Rama." ujar papah.
       "Nikah?" ujarku kaget. "Pah, papah tau kan aku gak mau nikah sampai lulus kuliah? aku gak mau." ujarku menolak dengan tegas rencana papah.
       "Pokoknya papah udah setuju, kamu gak boleh nolak." ujar papah tegas. 
       "Papah selalu gak pernah dengerin omongan aku." ujarku kesal dan berlari ke kamar.
       Aku melihat Rama duduk diam di depan TV. Ia hanya menundukkan kepalanya. Ia menoleh kearahku. Aku hanya melihatnya sebentar dan masuk ke dalam kamar. 
       "Mas kenapa si buru-buru gitu? mas tau kan Nadia gimana? biar mamah yang jelasin pelan-pelan ke Nadia nanti." ujar mamah lembut. Papah hanya terdiam.
       Rama memasuki kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tau harus berbuat apa. Hubungannya dengan Dinda masih berlanjut tapi ia harus menikah dengan Nadia. Rama pun membaringkan badannya untuk sejenak beristirahat.
       "Nadia." ujar mamah mengetuk pintu kamarku. Aku hanya diam. Mamah membuka pintu dan duduk disebelahku.
       "Sayang." ujar mamah lembut membelai rambutku.
       "Mah, mamah tau kan Nadia gak mau nikah sebelum lulus." ujarku sedih.
       "Ia mamah ngerti, tapi sekarang kondisinya mendesak sayang. Kamu tau kan om Satrio sakit? papah gak bisa nolak permintaan om Satrio." ujar mamah menjelaskan dengan pelan.
       "Tapi mah, nanti kuliah Nadia gimana? terus apa kata temen-temen Nadia kalo tau Nadia tiba-tiba nikah?" ujarku masih menolak permintaan papah.
       "Papah udah omongin itu sama om Satrio. Dan om Satrio setuju kalo pernikahan kalian minggu depan cuma akad nikah, pestanya setelah kamu lulus. Soal kuliah kamu, kamu masih bisa lanjutin." ujar mamah.
       "Tapi mah..." ujarku lemas.
       "Sekali ini aja mamah mohon sama kamu." ujar mamah memohon. Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku tak bisa menolak permintaan mamah. 

***

       Keesokan harinya aku bangun lebih pagi dan berangkat kuliah duluan. Aku belum mau bertemu dengan Rama. Aku membaringkan wajahku di atas meja kampus. Banyak hal yang aku pikirkan.  "Mana mungkin aku nikah sama orang yang udah punya pacar." ujarku pelan. Handphoneku berbunyi. Aku melihat sebuah pesan di sana. "Ngapain lagi dia sms." ujarku sebal. Aku membuka pesan tersebut dengan malas.
       Nanti pulang kuliah gue jemput lo.
       Ada yang perlu kita omongin.
       Rama
       Aku hanya membaca pesan tersebut dan tak membalasnya. Aku kembali melamun. Hari ini aku tidak bisa konsentrasi kuliah. Waktu berlalu dengan cepat.
       "Nad makan dulu yuk." ujar Tiara.
       "Iya Nad, lo seharian ini lagi kenapa si lesu banget." ujar Donna.
       "Gak ko, gue cuma lagi cape aja. Yuk jalan-jalan gue juga lagi males pulang cepet." ujarku. Kami bertiga berjalan keluar gedung. "Enaknya kemana ya?" ujar Donna.
       "Eh nyobain spagheti pedes yuk." ujar Tiara.
       "Oh iya, yang baru buka di sebelah kampus kan?" ujar Donna. Aku hanya diam mengikuti mereka berdua.
       "Nadia." ujar seseorang yang suaranya ku kenal. Kami bertiga berhenti dan menoleh.
       "Rama." ujarku dengan pelan. "Ngapain lo ke sini?" ujarku sebal.
       "Gue kan udah bilang mau jemput lo. Lo mau kemana?" ujar Rama.
       "Kita mau makan spagheti pedes, lo mau ikut?" ujar Donna.
       "Eh lo ngapain ngajak dia?" ujarku kesal.
       "Iya ikut aja yuk." ujar Tiara.
       "Boleh." ujar Rama tersenyum. Dengan malas aku berjalan. Donna dan Tiara jalan lebih dulu di depan. "Lo ngapain si mau ikut segala?" ujarku sebal.
       "Kalo gue gak ikut lo pasti ngindarin gue terus." ujar Rama santai. Aku melihatnya dengan wajah sebal dan berlari menyusul Donna dan Tiara. Kami berempat tiba di tempat makan. "Lo suka pedes?" ujar Tiara bertanya kepada Rama.
       "Suka." ujar Rama ramah.
       "Berarti lo sama Nadia kebalikan ya, Nadia kan anti banget sama pedes." ujar Tiara nyengir. Rama hanya tersenyum.
       "Tiara." ujarku sebal.
       "Berarti 3 pedes 1 gak pedes." ujar Donna menulis pesanan. Banyak yang Tiara, Donna, dan Rama bicarakan. Semua tak jauh mengenai aku. Aku hanya diam. Rama memang orang yang supel.
       "Gue ke toilet dulu ya." ujarku beranjak pergi.
       "So, lo sama Nadia sebenernya punya hubungan apa si?" ujar Donna penasaran.
       "Hmm, kalo gue bilang Nadia istri gue gimana?" ujar Rama asal.
       "Istri?" ujar Donna dan Tiara terkejut.
       "Just kidding." ujar Rama tertawa.
       "Ternyata lo sama ya kaya Nadia suka usil." ujar Donna sebal.
       "Gue bercanda ko. Kita berdua deket karena gue tinggal di rumah Nadia." ujar Rama santai.
       "Lo lagi berantem ya sama Nadia?" ujar Tiara serius.
       "Ko lo mikir gitu?" ujar Rama bingung.
       "Iya seharian dia diem aja. Nadia orangnya jarang marah. Kalo sekali marah, hmmm, dia bakal diemin lo abis-abisan." ujar Tiara serius.
       "Serius?" ujar Rama bingung.
       "Dia boong jangan percaya." ujar Donna menjitak Tiara.
       "Aw, lo ya padahal gue berhasil bales Rama." ujar Tiara sebal.
       "Nadia itu emang kalo marah bakal diem. Besok juga baik lagi. Mungkin emang sekarang dia lagi kesel aja." ujar Donna.
       "Thanks ya." ujar Rama tersenyum.
       "Kalo saran gue si ya, lo buruan minta maaf deh sama dia. Kayanya dia marah beneran sama lo." ujar Tiara. Rama menatap Tiara dengan curiga. "Yang ini gue seris Ram." ujar Tiara sebal.
       "Iya gue tau ko." ujar Rama tertawa. Aku berjalan menghampiri mereka bertiga. Canda tawa terlihat disana. "Udah ngomongin gue nya?" ujarku sebal. Tiara dan Donna hanya tertawa melihatku.
       "Hari ini gue yang traktir kalian." ujar Rama tersenyum.
       "Asik." ujar Tiara dan Donna senang. Rama berjalan menuju kasir dan membayar makanan kami. "Jangan kelamaan marah ntar cepet tua loh." ujar Donna memegang bahuku.
       "Iya, kalo ada masalah mending diomongin." ujar Tiara tersenyum. Aku hanya mengangguk lemah.
       "Kita balik duluan ya. Thanks Ram udah nraktir kita." ujar Donna tersenyum.
       "Iya sama-sama." ujar Rama ramah.
       "Kita duluan ya, titip Nadia ya Ram." ujar Tiara usil. Rama hanya tersenyum. Mereka berdua pun pergi meninggalkan aku dan Rama.
       "Sorry." ujar Rama saat kami di dalam mobil. Aku hanya diam.
       "Gue tau ko lo marah sama gue. Tapi gue mohon Nad sekali ini aja. Gue perlu bantuan lo." ujar Rama serius.
       "Gue gak mau nikah sebelum lulus." ujarku pelan.
       "Lo takut gak bisa nerusin kuliah?" ujar Rama.
       "Gue gak mau kuliah gue keganggu. Kalo gue tiba-tiba nikah terus anak-anak bilang apa? belum lagi kalo gue hamil. Gue gak pernah bisa bayangin." ujarku mulai bicara panjang lebar. Rama hanya tertawa.
       "Lo kenapa ketawa?" ujarku sebal.
       "Sorry sorry, hmm, masalah omongan anak-anak gue bisa rahasiain pernikahan kita ko. Lagian bokap bilang minggu depan cuma akad dan pestanya setelah lo lulus jadi gak masalah kan?" ujar Rama.
       "Terus kalo sebelum pesta gue hamil?" ujarku keceplosan.
       “Pikiran lo jauh juga ya. Apa lo mau cepet-cepet punya anak?" ujar Rama usil.
       "Rama gue serius." ujarku sebal.
       "Ok ok, hmm, gini aja lo boleh tulis kontrak apa aja yang gak boleh gue lakuin selama kita nikah. Ya seengaknya sampai pesta nanti." ujar Rama serius.
       "Lo bakal ngelakuin apa yang gue mau?" ujarku mulai tertarik.
       "Iya, lagian yang awalnya maksa buat buru-buru nikah kan bokap gue. Tapi lo jangan nulis yang aneh-aneh." ujar Rama.
       "Kalo gue ngelarang lo ketemu Dinda?" ujarku asal. Rama terdiam mendengar ucapanku.
       "Gue bercanda ko. Lagian Dinda kan pacar lo." ujarku tersenyum. 
       Diam menyelimuti kami berdua. Sampai di rumah kami berdua masuk kamar dan istirahat. "Yang gue paling takutin bukan cuma hamil tapi gue takut suami gue nantinya punya cewek lain." ujarku membaringkan badan di ranjang.

***

       Tok.. Tok.. Aku mengetuk kamar Rama. Malam itu jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Papah dan mamah sudah tertidur di kamar. Waktu yang tepat untuk membicarakan kontrak kami tanpa diketahui mereka.
       Rama membuka pintu kamarnya dan menyuruhku masuk. "So lo udah nulis kontraknya?" ujar Rama.
       "Udah, gue udah mikirin ini selama dua hari. Nih." ujarku menyerahkan selembar kertas. Rama membaca kertas tersebut.
       "Hmm, untuk masalah Dinda gue gak bakal ngelarang lo. Sampai pesta pernikahan lo boleh jalan sama dia. Tapi setelah itu lo ngerti kan maksud gue." ujarku serius.
       "Thanks ya Nad." ujar Rama. Setelah itu aku pun kembali ke kamar. "Hmm, besok kamar ini bukan cuma milik gue." ujarku membaringkan tubuhku di ranjang.

***

       Pagi itu semua orang tengah sibuk menyiapkan acara pernikahan kami. Semua yang dibutuhkan telah disiapkan oleh orang tua kami berdua. Hanya keluarga dekat yang datang hari itu.  Aku memandangi wajahku di kaca. "Hari ini datang juga." ujarku lemas.
       "Nadia." ujar ka Syifa mengetuk pintu kamarku. Ka Syifa masuk dan menghampiriku.
       "Kamu cantik Nad." ujar ka Syifa lembut. Aku hanya tersenyum. 
       "Turun yuk. Semuanya udah nunggu di bawah." ujar ka Syifa mengajakku turun. Kami berdua menuruni tangga. Kulihat semuanya sudah berkumpul. Rama sudah duduk dan memakai jas. Ia terlihat sangat tampan. Rama melihatku dan tersenyum. Aku pun duduk disebelahnya.     
       Papah sebagai wali yang menikahkanku. Akad berjalan dengan lancar. Semua keluarga memberikan ucapan selamat kepada kami.
       "Lo cantik hari ini." ujar Rama membisikan kalimat itu di telingaku.
       "Udah dari dulu kali, lo nya aja yang gak nyadar." ujarku asal. Kami berdua tertawa.
       "Ate." ujar Ommy menghampiriku. Aku tersenyum. Rama mengendong Ommy.
       "Mereka udah kaya suami istri beneran ya mas." ujar ka Syifa kepada ka Faris. Ka Faris hanya tersenyum. Pesta berlangsung hingga sore. Jam 3 sore semua keluarga pamit untuk pulang. Rumah yang awalnya ramai menjadi sepi kembali. Tinggal aku, Rama, dan orang tua kami. Ka Syifa dan ka Faris masih tinggal dan kembali ke kamar mereka.
       "Mah aku ke kamar ya mau istirahat." ujarku kembali ke kamar.
       Aku memasuki kamar dengan pelan. Semua barang Rama telah dipindahkan ke kamarku. Tak banyak yang ada hanya pakaian saja. Aku memasuki kamar dan bergegas mandi. Masih dengan memakai handuk aku keluar dan mengambil pakaian. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Rama langsung menutup kembali setelah melihatku masih memakai handuk. Aku langsung buru-buru memakai baju. Aku membuka pintu kamar setelah selesai. "Ketok dulu sebelum masuk." ujarku melihat Rama yang menunggu di depan pintu. Rama pun masuk ke dalam kamar.
       "Kalo gue ngetok pintu yang ada orang-orang ngerasa aneh. Makanya kalo mandi langsung bawa baju ganti." ujar Rama santai. Ia membuka jasnya.
       "Lo mau ngapain?" ujarku waspada.
       "Mau mandi." ujar Rama cuek. Aku hanya diam melihatnya.
       "Lo mau ikut gue mandi?" ujar Rama usil.
       "Enak aja, mending gue keluar." ujarku sebal lalu pergi keluar. Rama hanya tertawa melihatku.
       "Baru hari pertama udah ngeselin." ujarku sebal.
       "Kenapa si de?" ujar ka Syifa tengah mengendong Ommy.
       "Gak ko ka." ujarku nyengir. "Kaka mau mandiin Ommy ya?" ujarku lagi.
       "Iya nih, kamu mending istirahat aja dulu di kamar. Pasti cape kan?" ujar ka Syifa lembut.
       "Eh iya ka, aku mau ambil minum dulu." ujarku tersenyum. Aku pun langsung pergi ke bawah. Semua orang sudah kembali ke kamar.
       "Nadia." ujar seseorang memanggilku.
       "Eh tante." ujarku tersenyum.
       "Jangan panggil tante, panggil mamah aja sekarang." ujar tante Ani lembut.
       "Iya mah." ujarku sedikit canggung.
       Kami berdua mengobrol sejenak di dapur. "Makasih ya sayang kamu udah mau nikah sama Rama." ujar tante Ani. Aku hanya tersenyum.
       "Rama orangnya emang keras dan gampang marah. Tapi dia anak yang baik ko. Dia pasti bakal ngejagain kamu." ujar tante Ani tersenyum.
       "Oh iya mamah mau ke kamar dulu ya. Mau istirahat. Kamu juga istirahat dulu aja di kamar." ujar tante Ani membelai lembut rambutku.
       "Iya mah, Nadia ke kamar dulu ya." ujarku tersenyum lalu bergegas pergi ke kamar. Aku memasuki kamar dengan pelan. Kulihat Rama masih berada dikamar mandi. "Hmm, masih mandi. Ternyata dia kaya cewek juga mandinya lama." ujarku pelan. Aku duduk di atas sofa dan mulai tertidur. Rama keluar kamar mandi dengan pakaian yang sudah lengkap. Ia menghampiriku dan tersenyum. "Lo emang lebih cantik pas tidur." ujarnya tersenyum. Rama mengangkatku. Masih setengah sadar aku membuka mata. Aku melihat wajah Rama. 
       "Lo mau ngapain?" ujarku kaget dan berusaha turun. Rama mendudukkanku di atas ranjang. Ia melihatku sangat dekat. Aku hanya diam melihat matanya. Semakin lama wajah kami semakin dekat. Aku menutup mataku. Rama pun tertawa. Aku membuka mataku.
       "Rama." ujarku sebal.
       "Gue cuma mau mindahin lo doang tadi. Makanya kalo tidur itu di ranjang jangan di sofa." ujarnya santai. Aku hanya diam dan kesal. Entah aku kesal karena Rama usil atau karna ia tak jadi menciumku.
       "Turun yuk." ujar Rama mengacak-acak rambutku. Aku hanya mengangguk pelan. Kami berdua pun turun dan makan malam bersama keluarga. Canda tawa menghiasi makan malam kami malam itu. 

***

       Aku, Rama, ka Syifa, Ommy dan ka Faris berkumpul menonton tv di atas. Kedua orang tua kami sudah beristirahat dikamarnya masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul 9 saat itu.
       "Nadia kaka mau istirahat duluan ya." ujar ka Syifa mengajak ka Faris kembali ke kamar.
       "Pengantin baru jangan keseringan diluar kamar." ujar ka Faris usil. Rama hanya tersenyum.
       "Ka Faris." ujarku sebal. Ka Faris pun mengendong Ommy yang sudah tertidur dan masuk ke dalam kamar bersama ka Syifa.
       "Tidur yuk." ujar Rama bangun dan berjalan ke kamar. Aku pun hanya diam dan waspada.
       "Lo gak mau tidur?" ujar Rama menoleh kearahku. Aku pun berdiri dan mengikutinya. 'Kalo dia berani macem-macem awas aja.' batinku.
       Kami berdua masuk ke dalam kamar. Rama langsung berjalan dan tidur di atas ranjang. Aku hanya terdiam melihatnya. "Lo belum ngantuk?" ujar Rama sambil berbaring.
       "Lo gak niat macem-macem kan?" ujarku waspada.
       "Hmm, kayanya lo udah mulai gak sabar ya?" ujar Rama dengan wajah serius dan kembali ke posisi duduk. Aku pun hanya manyun. Rama tertawa. Ia mulai sering menggodaku.
       "Gue inget ko sama kontrak kita." ujar Rama santai. "Lo gak bisa tidur satu ranjang?" ujar Rama lagi. Aku hanya diam. Rama pun bangun dan beranjak berdiri.
       "Lo mau kemana?" ujarku bingung.
       "Tidur di sofa." ujar Rama tersenyum mengacak-acak rambutku. Aku hanya diam dan melihatnya tidur di sofa.
       Aku membaringkan tubuhku di ranjang. Rama sudah tertidur. Aku berbaring menghadap ke arahnya. "Sorry." ujarku pelan. Tak lama aku pun tertidur.
      
***

       Aku terbangun. Kulihat Rama masih tertidur pulas. Aku melihat ke arah jam. "Udah jam 5." ujarku bangun. Baru kali ini aku bisa bangun sepagi ini. Aku pun bergegas untuk mandi. Tak lupa aku langsung membawa baju ganti.
       "Ribet juga pake baju di kamar mandi." ujarku sambil mengeringkan rambut.
       "Rama." ujarku pelan membangunkannya. Dengan setengah sadar ia pun bangun.
       "Udah setengah 6. Mandi sana." ujarku santai sambil merapihkan buku kuliah. Rama pun bangun dan membawa handuk. 15 menit kemudian dia keluar kamar mandi. Rama langsung menuju lemari dan mengambil kemejanya. Aku terdiam melihatnya. "Kenapa Nad?" ujarnya bingung.
       "Eh gak." ujarku salting.
       "Baru sadar punya suami ganteng?" ujar Rama asal.
       "Ih pd." ujarku sebal. Aku langsung berjalan menuju keluar kamar.

***

       Kehidupanku sebagai pasangan baru sudah dimulai. Aku duduk melihat keluar jendela. Pemandangan kampus menghiasi pagi itu. Aku melihat ke jariku yang telah dihiasi dengan sebuah cincin. Aku melepasnya dan mengantungkannya di kalung. "Sipp, gak akan ada yang liat kalo gini." ujarku pelan.
       Hari ini kuliah sangat padat. Banyak tugas yang harus aku selesaikan. Perjalanan pulang sore itu sangat macet. Aku tiba di rumah jam 8 malam. Dengan lelah aku berjalan memasuki rumah.
       "Kamu ko baru pulang sayang?" ujar mamah menyambutku.
       "Iya mah, macet banget." ujarku pelan.
       "Rama udah di kamar. Kayanya dia lagi istirahat." ujar mamah.
       "Aku ke kamar dulu ya mah." ujarku. Aku berjalan menaiki anak tangga dengan lemas. Letih menyelimutiku. Aku membuka pintu kamar. "Lo dari mana aja si?" ujar Rama saat ia melihatku masuk.
       "Kuliah." ujarku singkat.
       "Gue hubungin lo berkali-kali gak bisa." ujar Rama kesal.
       "Iya hp gue mati. Tadi macet banget di jalan." ujarku menjelaskan. 
       "Kenapa lo gak bilang pulang sore kan gue bisa jemput." ujar Rama.
       "Aduh Rama gue cape, gue mau mandi dulu." ujarku sebal lalu masuk ke kamar mandi.
       "Kenapa si tu anak, tiba-tiba marah." ujarku pelan. Selesai mandi kulihat Rama sudah tidur di sofa. Aku melihat secangkir coklat panas di atas meja dekat ranjang. Aku mencharger handphoneku. Banyak pesan yang masuk. Aku tersenyum melihatnya. Aku menghampiri Rama yang tertidur pulas.
       "Sorry." ujarku tersenyum. Aku membetulkan selimutnya. Sudah seminggu kami menikah dan tidur terpisah. Handphone Rama berbunyi. Kulihat pesan dari Dinda disana. Aku hanya terdiam melihatnya. "Biarpun kita udah nikah lo tetep gak bisa lepas dari Dinda." ujarku lirih. Aku beranjak ke ranjang. Kuminum coklat panas dan segera tidur. Rama membalikan badannya. Ia masih belum tertidur. Penyesalan menyelimutinya malam itu. 

***

       "Rama." ujarku membangunkan Rama. Rama pun terbangun masih setengah sadar. Sudah seminggu ia tidur di sofa.
       "Lo gak apa-apa?" ujarku melihat Rama yang terdiam duduk disana. Rama hanya tersenyum dan mengangguk lemah. Aku memegang kepalanya. Rama demam.
       "Lo harus istirahat." ujarku memapahnya ke ranjang.
       "Gue gak apa-apa Nad." ujar Rama saat ku dudukkan di ranjang.
       "Mending lo istirahat, sekarang kan hari minggu." ujarku.
       "Thanks ya." ujar Rama tersenyum. Ia pun tertidur kembali. Aku pun turun ke bawah dan kembali dengan membawa semangkuk bubur. "Lo makan dulu aja." ujarku membantunya untuk duduk. Aku mengulurkan sesendok bubur kepadanya. Rama melihatku bingung. Lalu memakan bubur tersebut.
       "Sebenernya si gue bisa makan sendiri." ujar Rama setelah selesai makan.
       "Lo gak sakit?" ujarku bingung.
       "Gak." ujar Rama santai.
       "Terus badan lo anget?" ujarku semakin bingung.
       "Gue itu kurang tidur. Gue gak bisa tidur nyenyak di sofa." aku Rama jujur.
       "Sorry." ujarku pelan. Rama tersenyum.
       "Gue gak apa-apa ko. Thanks udah nyuapin gue." ujar Rama mengelus lembut rambutku. Hari itu Rama berada di rumah seharian. Sepertinya ia memang benar-benar tidak sehat. Waktu berlalu dengan cepat. Malam pun tiba. "Malem ini lo tidur di ranjang gue di sofa." ujarku tersenyum. Rama melihatku dengan bingung.
       "Gue gak apa-apa Nad. Lagian gue gak setega itu lagi." ujar Rama.
       "Lo kan lagi gak enak badan." ujarku pelan. Rama pun duduk di depanku.
       "Nadia, gue udah janji kan bakal ngelakuin yang lo mau. Tapi untuk kali ini gue gak bisa. Gue gak bisa biarin lo tidur di sofa." ujar Rama lembut.
       "Hmm, yaudah kita tidur berdua." ujarku dengan berat hati.
       "Lo yakin?" ujar Rama bingung. Aku hanya mengangguk.
       "Tapi lo gak boleh macem-macem." ujarku serius.
       "Iya." ujar Rama tersenyum. "Seharusnya lo dari kemarin nyuruh gue tidur di sini." ujar Rama santai. Aku pun mencubitnya.
       "Aw..." ujar Rama kesakitan. "Lo tuh ya." ujarnya sebal.
       "Lagian lo udah dibaikin ngelunjak." ujarku cuek. Rama terus melihat ke arahku. Ia mendekatkan wajahnya kepadaku. Lalu ia mencubit pipiku.
       "Aw.." ujarku memegang pipi kiriku.
       "Makanya jangan iseng." ujar Rama tertawa.
       "Rama." ujarku sebal. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

***

       Sepulang kuliah aku dan Donna pergi ke gramedia untuk mencari buku. "Nadia itu Rama kan?" ujar Donna saat kami berdua berada di gramedia. Aku melihatnya berjalan bersama Dinda. 
       "Balik yuk." ujarku pelan.
       "Lo gak apa-apa Nad?" ujar Donna khawatir.
       "Gak apa-apa ko." ujarku tersenyum. Banyak pertanyaan muncul di benakku. Aku diam selama perjalanan. Sesampainya di rumah aku langsung masuk kamar. Bulir air mata mengalir tanpa kuminta. 

***

       Cleck.. pintu kamarku terbuka. Kulihat Rama masuk ke dalam kamar. "Lo udah pulang?" ujarku tersenyum.
       "Iya." ujarnya singkat. Diam menyelimuti kami berdua. Rama pun pergi mandi. Aku hanya terdiam. Selesai mandi Rama melihatku dengan bingung.
       "Lo kenapa?" ujar Rama duduk di sampingku.
       "Gak apa-apa." ujarku tersenyum.
       "Boong." ujar Rama curiga.
       "Ketara ya?" ujarku lirih. Rama terus memperhatikanku. Ia menunggu penjelasan dariku.
       "Lain kali kalo jalan sama Dinda jangan di depan gue ya." ujarku tersenyum.
       "Nad." ujar Rama pelan.
       "Gue mau ambil minum dulu. Lo istirahat aja." ujarku sambil beranjak keluar kamar. Aku menangis di depan pintu kamar. Cleck tiba-tiba pintu kamar terbuka. Rama menarikku masuk ke kamar. Rama memelukku.
       "Sorry." ujarnya pelan. Aku menangis didalam pelukannya. Setelah aku mulai membaik Rama melepaskan pelukannya. 
       "Lo udah gak apa-apa?" ujarnya lembut. Aku hanya mengangguk lemah.
       "Gue udah gak sama Dinda." ujar Rama membelai rambutku. Aku hanya diam. 
       "Sebenernya sehari sebelum kita nikah gue udah mutusin Dinda." ujar Rama.
       "Terus? tadi lo jalan sama dia?" ujarku lirih.
       "Tadi itu Dinda minta temenin gue nyari hadiah buat cowoknya." ujar Rama santai.
       "Lo gak boong kan?" ujarku serius masih dengan mata berair.
       "Gak ko." ujar Rama serius.
       "Terus lo kenapa diem aja tadi?" ujarku sebal.
       "Lagian lo udah keburu ngambek duluan. Makanya lain kali tanya dulu." ujar Rama ikut sebal.
       "Gimana gak ngambek, gue kan cemburu." ujarku keceplosan. Rama pun tertawa mendengarnya.
       "Tuh kan ketawa. Besok gue gak mau cemburu lagi sama lo." ujarku sebal lalu bergegas pergi. Rama menarikku lalu menciumku. Aku hanya diam.
       "Jangan ngambek mulu, ntar cepet tua." ujar Rama tersenyum. Aku mengangguk.
       "Hmm, berarti ciuman udah boleh." ujar Rama menggodaku. Aku hanya diam.
       "Gue tidur duluan ya." ujarnya tersenyum lalu berbaring di ranjang. Aku pun berjalan menuju ranjang. Sekarang aku sudah tidak takut dengan Rama lagi. Aku pun mengikutinya dan tidur disebelahnya.

***

       Aku bangun dengan setengah sadar. Kulihat wajah Rama tepat di depanku. Aku kaget lalu langsung terduduk. Kulihat semua bajuku masih utuh. Sudah setahun kami bersama. Aku tersenyum melihatnya. "Rama." ujarku membangunkannya.
       "Hmmm.." ujar Rama masih memejamkan matanya. 
       "Bangun." ujarku mencubit pipinya. Rama memegang tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya.
       "Gue nyuruh lo bangun bukan meluk gue." ujarku sebal lalu tersenyum. Rama membuka matanya.
       "Makanya jangan nyubit gue pagi-pagi." ujar Rama mencubit lembut pipiku.
       "Lagian lo nya kebo si." ujarku asal.
       "Dasar." ujar Rama tersenyum lalu memelukku.
       "Hari ini kerja pagi loh." ujarku mengingatkan Rama.
       "Iya." ujarnya masih tetap memelukku.
       "Udah yuk bangun." ujarku membangunkannya.
       "Lo gak romantis." ujar Rama sebal. Aku mencium pipinya. Dia pun tersenyum.
       "Mandi sana." ujarku cuek.
       "Iya istriku." ujar Rama mengacak-acak rambutku. Tidak banyak hal yang berubah antara kami berdua. Hubungan kami berjalan dengan baik. Aku tengah menyelesaikan skripsiku. Sebentar lagi aku akan wisuda.
       "Jadi ketemu pembimbing hari ini?" ujar Rama yang tengah bersiap-siap. 
       "Iya." ujarku sembari membereskan kertas yang akan aku bawa.
       "Good luck." ujar Rama tersenyum mengelus lembut rambutku. Aku pun tersenyum.
       "Yuk berangkat." ujarku tersenyum.
       Kami berdua pun berangkat. Aku tak pernah menyangka kehidupanku akan menyenangkan seperti ini. "Nad gimana pak Samsul?" ujar Donna menghampiriku yang habis bimbingan.
       "Beres, minggu depan tinggal sidang." ujarku tersenyum.
       "Selamat ya." ujar Donna senang. 
       "Si Tiara mana Don?" ujarku penasaran.
       "Lagi konsul sama bu Wiwid." ujar Donna.
       "Semoga tuh anak gak apa-apa." ujarku. Bu Wiwid termasuk dosen pembimbing yang killer. Aku merasa kasihan dengan Tiara.
       "Kita ke Tiara yuk." ujar Donna.
       "Tiara." ujarku memanggil Tiara yang tengah duduk terdiam.
       "Lo gak apa-apa?" tanya Donna.
       "Donna, Nadia." ujar Tiara menangis.
       "Lo kenapa Ti?" ujarku bingung.
       "Bu Wiwid minta revisi?" ujar Donna. Tiara hanya menggeleng.
       "Terus?" ujarku bingung.
       "Bu Wiwid udah setuju, gue sidang minggu depan." ujarnya menjelaskan.
       "Selamat ya." ujar Donna sedang mendengar kabar tersebut.
       "Berarti kita sidang minggu depan." ujarku senang.
       "Iya." ujar Tiara tersenyum.
       "Buruan lulus sidang biar kita bisa wisuda bareng." ujar Donna yang tengah menunggu wisuda.
       "Iya." ujarku tersenyum.
       "Oh iya berhubung kita lagi bareng-bareng jalan yuk." ujar Donna.
       "Boleh." ujarku tersenyum.
       "Kita mau kemana?" ujar Tiara.
       "Ke PIM aja. Sekalian gue mau ngenalin seseorang." ujar Donna.
       "Siapa?" ujar Tiara penasaran.
       "Ada deh." ujar Donna tersenyum. Kami bertiga berjalan menuju PIM. Kami duduk di sebuah tempat makan disana. "Mana orang yang lo mau kenalin?" ujar Tiara masih penasaran.
       "Bentar lagi juga dateng." ujar Donna.
       "Ka." ujar Donna melambaikan tangannya. Aku dan Tiara pun menengok. "Ka Al." ujarku tersenyum melihatnya.
       "Hei." ujarnya tersenyum. Tiara memasang wajah curiga. 
       "Udah lama di sini?" ujar ka Al.
       "Baru aja ka." ujar Donna.
       "Ka bentar ya. Donna lo ikut gue." ujar Tiara menarik Donna pergi.
       "Tiara kenapa Nad?" ujar ka Al bingung.
       "Gak tau ka emang suka aneh gitu." ujarku asal. Ka Al hanya tertawa.
       "Lo jadian sama ka Al?" ujar Tiara.
       "Iya." ujar Donna nyengir.
       "Ko lo jahat banget si? Lo kan tau Nadia suka sama dia udah lama banget." ujar Tiara kesal.
       "Nadia udah tau kali." ujar Donna santai.
       "Ko bisa?" ujar Tiara tak percaya. "Terus lo kenapa gak cerita ke gue." ujar Tiara sebal.
       "Gue mau ngasih kejutan buat lo. ahaha. Jadi gue itu dijodohin sama bokap gue. Eh ternyata itu ka Al. Nadia orang yang pertama gue ceritain malah." ujar Donna santai.
       "Lo jahat gak cerita ke gue." ujar Tiara kesal.
       "Lagian lo si sibuk mulu sama pacar lo." ujar Donna sebal.
       "Oh iya ya ehehe maaf." ujar Tiara nyengir.
       "Udah yuk balik ntar Nadia clbk sama ka Al lagi." ujar Donna asal. Aku tengah duduk berdua dan berbincang dengan ka Al. "Gimana sama Rama?" ujar ka Al.
       "Baik ka." ujarku tersenyum. Ka Al sudah tau tentang Dinda dan Rama yang telah putus. Bahkan Ka Al tau aku telah menikah dengan Rama. Kami kembali dekat saat ka Al dan Donna dijodohkan. Rama tengah berjalan menyusuri toko yang ada di PIM. Ia habis bertemu dengan klien di sana. Dari jauh ia melihat Nadia dan Al bersama. Cemburu menghampiri dirinya. Ia pun menghampiri mereka berdua.
       "Nadia." ujar Rama menghampiriku dan ka Al.
       "Rama." ujarku kaget. Rama melihatku dengan tatapan curiga.
       "Wah udah Rame aja nih." ujar Donna menghampiri kami.
       "Iya, ada Rama juga malah." ujar Tiara. Kami berlima duduk bersama. "Lo gak clbk kan sama Al?" ujar Rama berbisik pelan. Aku hanya cuek mendengarnya. Rama mencoba menahan emosi.
       "Jadi ini cowok gue." ujar Donna mengandeng ka Al. Ka Al hanya tersenyum. Rama terlihat bingung. Aku hanya tertawa.
       "Lo ko ketawa si Nad?" ujar Donna sebal.
       "Sorry Don. Abis ni anak dari tadi bawel banget." ujarku melirik ke arah Rama. Rama melihatku dengan wajah sebal. "Btw gue juga punya surprise yang bikin kalian kaget." ujarku dengan nada sombong. "Kenalin suami gue." ujarku lagi mengandeng Rama. Tiara dan Donna kaget, sedangkan ka Al hanya tersenyum.
       "Ngaku-ngaku aja." ujar Rama mengacak-acak rambutku dan tersenyum.
       "Tuh kan lo boong." ujar Donna.
       "Iya boong, gak mungkin lo udah nikah. Pasti lo iseng doang kan." ujar Tiara.
       "Ih gue serius." ujarku sebal. "Iya kan sayang?" ujarku dengan nada manja. Rama hanya tersenyum dan membelai rambutku lembut. 
       "Kapan lo berdua nikah?" ujar Donna penasaran.
       "Setahun yang lalu." ujarku cuek.
       "Dan lo baru cerita sekarang?" ujar Tiara sebal.
       "Sorry, lagian kan gue gak mau jadi bahan gosip kalian berdua." ujarku asal.
       "Nadia." ujar Donna dan Tiara sebal. Aku, Rama dan ka Al tertawa melihat tingkah mereka.
       "Kakak juga udah tau?" ujar Donna menyadari ka Al yang tidak kaget sama sekali.
       "Iya, Nadia bilang gak boleh kasih tau siapa-siapa terutama kamu." ujar ka Al.
       "Udah-udah jangan ngambek. Sebagai permintaan maaf gue. Gue bakal teraktir lo berdua." ujarku tersenyum.
       "Serius?" ujar Tiara kembali ceria.
       "Iya, tapi yang bayarin Rama." ujarku tertawa.
       "Curang." ujar Rama mengacak-acak rambutku.
       "Rama, gue bukan anak kecil jadi jangan sering-sering ngacak-acak rambut gue." ujarku sebal. Rama hanya tertawa.
       "Lo berdua yakin udah nikah?" ujar Donna tak percaya.
       "Gue juga gak yakin si nikah sama dia." ujar Rama asal. Aku hanya diam sebal. Rama membelai rambutku lembut. "Becanda." ujarnya tersenyum. Kami berlima pun makan bersama. Canda tawa menghiasi suasana makan saat itu. Setelah selesai makan kami pun pulang masing-masing.

***

       Hari ini kami bertiga akan di wisuda bersama. Rama dan kedua orang tuaku ikut mengantarku. "Akhirnya kita diwisuda." ujar Tiara memelukku dan Donna.
       Hari itu sangat bahagia untuk kami. Kami bertiga berfoto bersama. Rama memberikanku buket bunga mawar yang indah. "Congrats." ujarnya berbisik lembut di telingaku. Aku pun tersenyum. Setelah acara selesai. Kami pun makan bersama diluar dan pulang ke rumah. Kami tiba pukul 7 malam. Aku dan Rama kembali ke dalam kamar. Rama pergi mandi duluan. Aku masih membersihkan make up di wajahku. Kulihat handphonenya berbunyi. Om Satrio menelpon. "Hallo pah." ujarku mengangkat telepon.
       "Hallo Nadia, selamat ya kamu udah lulus." ujar om Satrio senang.
       "Iya pah, makasih ya." ujarku ramah.
       "Rama nya ada Nad? papah mau ngomong sama dia." ujar om Satrio. Rama keluar dari kamar mandi. Aku menoleh. "Papah." ujarku memberikan handphonenya. Rama pun mengangkat telepon dan aku pergi mandi. Selesai mandi aku melihat Rama duduk di sofa. "Kenapa?" ujarku bingung.
       "Papah nanyain soal resepsi kita." ujar Rama serius.
       "Bagus dong." ujarku senang. Rama terus melihatku dengan serius. Semakin lama wajahnya semakin dekat.
       "Ram." ujarku bingung. Rama menciumku hingga aku jatuh tertidur.
       "Sekarang kontrak kita udah abis." ujar Rama berbisik di telingaku. Aku pun tertawa.
       "Lo gak cocok jadi kaya gini." ujarku masih menahan tawa.
       "Udah ah gue mau tidur." ujar Rama sebal lalu pergi ke ranjang. Aku menghampirinya. Ia menghadapkan wajahnya membelakangiku.
       "Jangan ngambek dong." ujarku menarik tangannya.
       "Hmmm." ujar Rama singkat.
       Kami berdua pun duduk di atas ranjang. "So? kita omongin kontrak ulang." ujarku.
       "Iya." ujar Rama pelan.
       Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menciumnya. "Thanks untuk semuanya." ujarku tersenyum.
       "Gue mau tidur." ujar Rama singkat.
       "Lo kenapa si marah lagi." ujarku bingung. Rama menarikku kedalam pelukannya.
       "Sorry Nad gue udah gak bisa ngikutin kontrak lagi." ujar Rama berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum dan menciumnya.

***

       Pagi pun datang. Masih setengah sadar aku bangun. Kulihat Rama tengah melihatku tertidur. "Lo ngapain ngeliatin gue." ujarku sadar.
       "Dasar." ujar Rama tersenyum.
       "Eh lo udah ngelanggar kontrak." ujarku teringat sesuatu.
       "Kontrak?" ujar Rama bingung.
       "Dikontrak itu sampe resepsi bukan wisuda." ujarku sebal. Rama mencubit pipiku lembut. 
       "Lo harusnya bersyukur. Awalnya gue udah niat ngelanggar kontrak dari awal kita nikah." ujar Rama asal.
       "Dasar." ujarku sebal lalu tersenyum.
       "Kalo gue hamil lo harus tanggung jawab." ujarku asal.
       "Gue yakin lo bakal cepet hamil." ujar Rama tersenyum.

***

       Seminggu kemudian resepsi kami pun berlangsung. Semua teman-temanku hadir. Pesta berlangsung sangat meriah. Kulihat Dinda datang bersama pacarnya. Mereka memberi kami selamat. "Lo ngundang Dinda?" ujarku pelan.
       "Iya." ujar Rama singkat.
       "Ko gak bilang gue." ujarku sebal.
       "Lo juga ngundang Al." ujar Rama santai. Kami berdua berdebat dipelaminan.
       "Sttt kalian berdua ya masih aja suka berantem." ujar Donna dan Tiara menghampiri kami. Aku hanya nyengir. 
       "Thanks ya udah dateng." ujar Rama tersenyum.
       "Iya, semoga cepet dapet baby ya." ujar Tiara usil.
       "Pasti." ujar Rama tersenyum.
       "Eh gue gak mau hamil dulu." ujarku kepada Rama. Rama hanya mengangkat bahunya tak peduli. Donna dan Tiara tertawa melihat kami berdua. Sebulan setelah resepsi kami aku pun hamil. Meski masih sering berdebat tapi kami selalu bersama.


The End